Masyarakat Desa Berdesa
Ditulis Oleh : Sutoro Eko
Selama ini kita mengenal konsep bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, tetapi tidak pernah mengenal konsep berdesa, meskipun orang
Jawa secara samar-samar mengenal konsep “merdeso”. Masyarakat berdesa
atau tradisi berdesa bukan sekadar mengandung tradisi bernegara secara
korporatis (tunduk pada kebijakan dan regulasi negara) atau bermasyarakat
secara parokhial (hidup bersama atau tolong menolong berdasarkan garis
kekerabatan, agama, etnis atau yang lain).
Tradisi berdesa mengandung unsur bermasyarakat dan
bernegara di ranah desa. Desa menjadi wadah kolektif dalam bernegara dan
bermasyarakat. Pertama, desa menjadi basis identitas dan basis sosial
atau menjadi basis memupuk modal sosial, yakni memupuk tradisi solidaritas,
kerjasama, swadaya, gotong royong secara inklusif yang melampaui batas-batas
eksklusif seperti kekerabatan, suku, agama, aliran atau sejenisnya. Kedua,
desa memiliki kekuasaan dan berpemerintahan, yang di dalamnya mengandung
otoritas (kewenangan) dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat. Ketika mandat dari rakyat koheren dengan
otoritas dan akuntabilitas, maka legitimasi dan kepercayaan akan menguat. Desa
mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada warga
masyarakat.
Kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal dalam UU Desa
merupakan instrumen penting untuk melembagakan masyarakat/tradisi berdesa.
Melalui kewenangan itu desa mempunyai otoritas dan akuntabilitas mengatur dan
mengurus barang-barang publik untuk pelayanan kepada kepentingan masyarakat
setempat. APBDesa digunakan untuk membiayai kewenangan yang direncanakan.
Sebaliknya masyarakat juga membiasakan diri untuk memanfaatkan desa sebagai representasi
negara yang mengatur dan mengurus mereka, bukan hanya sebatas terlibat dalam
pemilihan kepala desa, bukan juga hanya mengurus administrasi, tetapi yang
lebih penting adalah memanfaatkan desa sebagai institusi yang melayani
kepentingan mereka.
Desa bukan sekadar rezim/sistem pemerintahan. Desa juga
sebagai bangunan sosiologis, atau bisa juga disebut sebagai basis sosial bagi
masyarakat. Romo Driyarkara, misalnya, mengatakan bahwa desa adalah kesatuan
organik yang bulat. Clifford Geertz (1980), dalam studinya di Bali, juga
menegaskan: “Desa itu suatu unit organik yang mandiri, berbasis kosmologis,
menutup diri dan tumbuh dari lahan budaya asli Bali”. Masyarakat adalah basis
desa, kemasyarakatan merupakan pilar desa.
Desa memiliki masyarakat, masyarakat memiliki desa. Desa
memiliki masyarakat berarti desa ditopang oleh institusi lokal atau modal
sosial. Dalam UU Desa hal ini tercermin pada asas kekeluargaan, kebersamaan dan
kegotongroyongan. Sementara masyarakat memiliki desa bisa disebut juga sebagai
tradisi berdesa, atau menggunakan desa sebagai arena bernegara atau
berpemerintahan oleh masyarakat.
Dua sisi itu penting karena akan menjadi fondasi yang
kokoh bagi desa yang kuat, maju, demokratis dan mandiri. Pada level yang lebih
mikro, bermasyarakat dan berdesa itu menjadi energi utama bagi desa membangun,
dan sekaligus menjadi faktor penting bagi keberhasilan dan kegagalan setiap
jenis program pembangunan yang bekerja di desa. Sebagai contoh konkret, Desa
Ekasari di Jembrana, Bali. Desa ini inklusif (tiga komunitas Hindu, Islam dan
Katotik hidup rukun dan terjadi kolektivitas) dan memiliki bangunan sosial
yang kokoh, sehingga program apapun yang masuk ke desa ini selalu berhasil.
Sebaliknya banyak BUMDesa yang gagal, atau proyek-proyek sektoral yang
diserahkan kepada masyarakat setempat akhirnya tidak berlanjut dengan baik.
Penyebabnya adalah fondasi sosial yang rapuh dan miskinnya tradisi berdesa.
Desa Bermasyarakat
Masyarakat apapun dan dimanapun selalu mendambakan modal
sosial (kebersamaan, kerjasama, solidaritas, kepercayaan) yang kaya melimpah.
Bahkan negeri Amerika pun, yang selalu dikatakan sangat individualis dan liberal,
juga mendambakan modal sosial. Dari buku kondang Alexis de Tocquville, Demoracy
in America, kita bisa belajar bahwa kokohnya demokrasi Amerika bukan
karena sistem politik (federalisme, dua partai dan sistem distrik) tetapi
karena modal sosial yang sudah terbangun lama. Selain patung Liberty yang gagah
perkasa, buku karya besar de Tocquville merupakan hadiah orang Prancis kepada
Amerika yang memberikan teladan dan inspirasi demokrasi bagi Prancis. Buku yang
melegenda itu bahkan menjadi bacaan wajib bagi pendidikan politik di Amerika.
Tetapi 150 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1995, Robert Putnam (seorang ilmuwan
politik Amerika yang dijuluki sebagai pewaris Tocquville) meneliti dan
menerbitkan sebuah tulisan tentang Bowling Alone, sebuah metafora yang
menunjukkan krisis modal sosial dalam masyarakat Amerika. Tulisan Putnam itu
disambut dengan serius yang penuh kerisauan oleh pemerintah dan masyarakat
Amerika, yang kemudian mendorong pemerintah maupun berbagai yayasan pilantrofi
mendanai banyak universitas untuk melakukan penelitian dan revitalisasi modal
sosial.
Kalau Amerika sekalipun memperhatikan modal sosial secara
serius, apalagi desa-desa di Indonesia yang lahir dan hidup karena modal
sosial. Perhatian pada modal sosial dalam bab ini karena alasan teoretik dan
empirik. Secara teoretik studi Putnam (1993) maupun Fukuyama (1995) menunjukkan
bahwa modal sosial merupakan penopang pembangunan ekonomi dan demokrasi. Putnam
antara lain mengambil kesimpulan: “Studi tentang pertumbuhan ekonomi Asia Timur
yang cepat hampir selalu menekankan pentingnya jaringan kerja sosial yang
padat, sehingga ekonomi ini menggambarkan semacam kapitalisme berjaringan”
(Putnam, 1993). Francis Fukuyama (1995) juga menegaskan argumen tentang
kehebatan modal sosial (kerjasama dan kepercayaan) sebagai penopang
keberhasilan kapitalisme di Eropa Barat, Amerika Utara dan Asia Timur.
Secara empirik Desa jadi menarik didiskusikan karena dua
misteri modal sosial di Indonesia yang sungguh berbeda dengan keyakinan
teoritik. Pertama, desa-desa di Indonesia sebenarnya sangat kaya modal
sosial tetapi juga rentan secara sosial. Di satu sisi masyarakat desa sudah
lama mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas sosial yang kuat, sebagai
penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga utama “otonomi asli”
desa. Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau sampai level desa,
swadaya dan gotong royong merupakan sebuah alternatif permanen yang
memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa tercukupi. Di luar
swadaya dan gotong-royong, masyarakat desa mempunyai tradisi tolong-menolong,
bahu-membahu dan saling membantu antarsesama, apalagi ketika terjadi musibah
yang mereka lihat secara dekat.
Tetapi di balik ikatan sosial dan solidaritas sosial yang
menyenangkan itu, masyarakat desa sering menghadapi berbagai kerentanan sosial
(social vulnerability) yang menyedihkan, bahkan bisa melumpuhkan
ketahanan sosial (social security) mereka. Ketahanan sosial masyarakat
desa kerapkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari
regulasi dan kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, wabah penyakit menular,
narkoba, bencana alam, kekeringan, dan masih banyak lagi. Bahkan bantuan dari
pemerintah seperti BLT kompensasi BBM juga memunculkan kerawanan sosial dalam
masyarakat, misalnya dalam bentuk pertikaian antara warga dan aparat setempat.
Kedua, desa kaya modal
sosial tetapi tidak kaya modal ekonomi. Dengan kalimat lain, modal sosial itu
tidak mengalami transformasi menjadi modal ekonomi. Studi Edward Miguel, Paul
Gertler, dan David I. Levine (2005) di 274 daerah industri di Indonesia,
misalnya, menunjukkan bahwa modal sosial tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pertumbuhan industri. Karena itu, wajar jika Prof. Robert Lawang,
pernah mengajukan pertanyaan: mengapa modal sosial yang kaya tidak menghasilkan
modal ekonomi? Bagaimana dan dimana letak missink link antara modal sosial
dan modal ekonomi?
Antara misteri dan optimitisme itu perlu dikaji lebih
dalam. Bilamana dan bagaimana modal sosial membentuk desa bertenaga secara
sosial, serta menopang pembangunan ekonomi dan demokrasi lokal? Dalam
literatur terdapat tiga level dan jenis modal sosial: ikatan sosial (social
bonding), jembatan sosial (social bridging) dan jaringan sosial (social
linking). Social bonding adalah bentuk dan level modal sosial dalam
komunitas lokal yang paling rendah, dimana hubungan sosial (kerjasama dan
kepercayaan) dibangun berdasarkan kesamaan identitas yang homogen atau
berdasarkan ikatan parokhial (keagamaan, kekerabatan, kesukuan, dan lain-lain)
yang lebih banyak berorientasi ke dalam secara eksklusif. Social bridging merupakan
bentuk modal sosial dalam komunitas lokal yang lebih terbuka, heterogen,
melampaui ikatan parokhial, yang sangat cocok untuk membangun kerukunan dan
perdamaian. Sedangkan social linking adalah modal sosial yang malampaui
komunitas lokal, berorientasi keluar dan berjaringan lebih luas den gan dunia
luar (Briggs 1998; Woolcock dan Narayan 2000, Putnam, 2000, Portes dan Landolt.
2000, Woolcock 2001).
Selain tiga bentuk modal sosial itu, sebenarnya masih bisa
ditambahkan bentuk solidaritas sosial dan gerakan sosial. Solidaritas sosial
dalam bentuk tolong menolong berada dalam rentang antara ikatan sosial dan
jembatan sosial. Sedangkan gerakan sosial berada di atas level jaringan sosial.
Gerakan sosial dalam bentuk organisasi warga atau organisasi masyarakat sipil
mulai dari level desa, daerah dan nasional merupakan institusi sipil yang
menaruh perhatian pada isu-isu publik maupun kepentingan warga, sehingga
menjadi kekuatan yang mendorong tumbuhnya demokrasi.
Berdasarkan tiga bentuk dan level modal sosial itu, kami
berpendapat bahwa social bonding yang bersifat parokhial merupakan modal
sosial paling dangkal, yang tidak mampu memfasilitasi pembangunan ekonomi,
desa bertenaga secara sosial, dan demokrasi lokal. Bahkan social bonding itu
mengandung sejumlah sisi gelap: (a) eksklusi terhadap orang lain; (b) klaim
atas anggota kelompok; (c) pembatasan terhadap kebebasan individu; dan (d)
mengabaikan norma, termasuk norma hukum. (Portes dan Landolt, 2000). Social
bonding yang eksklusif dan miskin jembatan sosial itu mudah menyebabkan
konflik beragam kelompok atau komunitas parokhial (agama, suku, kekerabatan,
aliran). Konflik lokal yang merebak di berbagai daerah di Indonesia tentu
bersumber dari beragam social bonding dengan densitas sosial yang jauh.
Studi Weijland (1999) menemukan bahwa hubungan sosial (social
bonding) di berbagai komunitas desa di Indonesia biasanya dimaknai sebagai
“hubungan patronase dengan hirarkhi sosial-politik, kepemilikan tanah, dan
ikatan keluarga”. Hubungan sosial semacam ini tentu bukanlah modal sosial yang
mengutamakan kepercayaan, jaringan inklusif dan tanggungjawab, melainkan
mengandalkan hubungan yang eksklusif, tertutup bahkan merusak hukum. KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme) tentu berangkat dari ikatan sosial semacam ini.
Studi Sarah Turner (2007) di Makassar secara khusus
membahas bentuk modal sosial di kalangan pengusaha kecil. Studi ini menemukan
bahwa pengusaha kecil di Makassar sangat bergantung pada jaringan informal, saling
keterhubungan (linkages) antara satu dengan yang lain dan membangun
kepercayaan untuk mendukung sumber penghidupan mereka. Hubungan saling
ketergantungan ini mencerminkan bentuk modal sosial yang melekat (embedded)
dalam etnis lokal dan ikatan sosial (social bonding) yang bergerak pada
dua sisi sekaligus yakni inklusif pada satu kelompok dan pada saat yang sama
menjadi eksklusif bagi orang lain.
Secara ringkas studi Turner (2007) menemukan tiga hal
penting. Pertama, faktor etnis berpengaruh kuat dalam komunitas lokal di
Makassar, yang berperan penting dalam menopang jaringan dan keterkaitan.
Pengusaha kecil memanfaatkan jaringan untuk mendapatkan kredit secara informal
dengan bunga yang rendah atau sama sekali tan pa bunga, saling “meminjam”
tenaga kerja terutama disaat mendapatkan pesanan dalam jumlah besar serta
berbagi informasi atau peralatan kerja.
Kedua, daya lekat yang kuat didalam etnis menentukan aktivitas
para pengusaha kecil yang menguntungkan dan sekaligus memperkuat stratifikasi
sosial-budaya. Aktivitas mencari pekerjaan atau sumber penghidupan bukanlah sesuatu
yang netral tetapi mengakibatkan proses inklusi dan eksklusi. Kesamaan etnis
dan asal-usul daerah/kampung akan mempererat proses inklusi seseorang ke dalam
sebuah komunitas, tetapi pada saat yang sama melakukan peminggiran (eksklusi)
orang lain.
Ketiga, meski situasi di Makassar
menggambarkan ikatan modal sosial yang baik, yakni terjadi kerjasama erat dan
iklim kepercayaan diantara jaringan keluarga dan teman sehingga bermanfaat
menopang kesempatan ekonomi dan lapangan kerja serta terjadi daya lekat yang
kuat, tetapi semua ini terjadi karena ada mekanisme bertahan (coping
mechanicsm), yakni suatu mekanisme yang dipakai pengusaha lokal untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi. Social bonding bisa menjadi solusi
terutama menghadapi hambatan dalam berhubungan dengan institusi formal
(birokrat-bank). Social bonding dan social bridging di Makassar
mampu mendukung keseharian pengusaha kecil tetapi social linking belum
bisa berfungsi dengan baik.
Secara khusus studi ini menemukan bahwa kerjasama antar
etnis, seperti Bugis-Makassar bahkan dengan etnis China, berguna untuk
memperoleh kontrak kerja, bah an-bahan mentah untuk produksi maupun saluran
informal untuk memperoleh hutang. Dalam konteks ini, sumber modal sosial
terletak pada struktur hubungan sosial yang berkembang dari waktu ke waktu
dimana biasanya aktor kunci sudah berada di komunitas atau justru sengaja ditanamkan
di komunitas tersebut. Modalitas ini sebenarnya bisa membangun social
bridging dan social linking yang kuat. Tetapi perilaku kolusi,
korupsi maupun biaya siluman (rente) di kalangan birokrasi membuat para
pengusaha kecil di Makassar tidak optimal dalam membentuk social linking.
Hal ini membuat pengusaha kecil tidak mampu melakukan inovasi maupun ekspansi
bisnis karena meningkatnya “biaya operasional”. Ini semakin memperjelas bahwa
problem ekonomi-politik menjadi salah satu rintangan bagi pengusaha kecil untuk
berkembang. Masih akan bersambung
Di Cuplik Dari Buku Regulasi Baru, Desa Baru-Ide, Misi,
Dan Semangat Uu Desa, Sutoro Eko, maret 2015,Kemndes