December 2, 2025

Bencana Banjir Sumatera Sudah Terjadi, Apa yang Perlu Diperbaiki?

 Oleh 


Harmen Batubara

Bencana Siklon Senyar di Sumatera—melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—telah merenggut lebih dari 600 jiwa dan meninggalkan 468 orang yang masih hilang. Angka itu bukan hanya menunjukkan dahsyatnya kekuatan alam, tetapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya kesiapan kita menghadapi bencana besar.

Salah satu kelemahan mendasar adalah minimnya integrasi antarlembaga penting seperti BMKG, BRIN, BNPB, dan BIG. Data dan informasi vital yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan belum terhubung secara optimal. Belum lagi, pemanfaatan teknologi canggih seperti Artificial Intelligence (AI) masih sangat kurang. Padahal, AI bisa membantu memprediksi bencana lebih akurat, memetakan area rawan, dan mengoptimalkan respons darurat.

Infrastruktur di daerah rawan bencana juga menjadi sorotan utama. Banyak tebing dan hutan di area rawan longsor tidak memiliki penanganan yang memadai. Tanggul-tanggul sungai masih rapuh, dan penyempitan aliran sungai memperparah risiko banjir. Selain itu, pemetaan zona rawan bencana belum dilakukan secara detail dan akurat, sehingga masyarakat dan pemerintah tidak memiliki informasi lengkap untuk mitigasi.


Pemerintah daerah secara umum juga belum siap menghadapi bencana. Ketersediaan shelter evakuasi yang memenuhi standar nasional masih terbatas. Jalur evakuasi seringkali tidak teruji atau bahkan tidak ada. Pelatihan simulasi bencana yang berkelanjutan untuk masyarakat juga belum menjadi prioritas. Ironisnya, izin permukiman dan pembangunan area industri masih diberikan di wilayah-wilayah yang jelas-jelas memiliki riwayat bencana berulang. Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan tata ruang dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada keselamatan warga.

Kita harus mengakui satu hal dengan jujur:

bencana ini terjadi di wilayah yang memang rawan, dan kerawanannya diperparah oleh sistem kebencanaan yang belum sempurna.

1. Sistem Kebencanaan yang Belum Terintegrasi

Indonesia memiliki lembaga-lembaga penting seperti: BMKG (cuaca dan iklim), BRIN (riset dan pemodelan atmosfer), BNPB (penanganan bencana), BIG (informasi geospasial).

Namun dalam praktiknya, keempat lembaga ini belum terhubung dalam satu sistem peringatan dini terpadu, apalagi yang memanfaatkan AI untuk memprediksi anomali cuaca ekstrem.

Siklon Senyar muncul tanpa antisipasi. Tanpa peringatan jelas. Tanpa waktu yang cukup bagi warga untuk menyelamatkan diri.

Ini bukan salah satu lembaga, melainkan gambaran bahwa integrasi data cuaca–geospasial–riset–kebencanaan belum berjalan secara real-time.

2. Infrastruktur Daerah yang Tidak Tahan Bencana

Kerusakan besar terjadi karena banyak infrastruktur di daerah rawan tidak dirancang untuk menghadapi cuaca ekstrem.

Beberapa kelemahan paling terlihat:

● Tebing dan lereng yang rapuh

Banyak lereng tidak diperkuat, ditambah deforestasi di kawasan rawan longsor. Akibatnya, sedikit saja tekanan cuaca ekstrem membuat tanah runtuh dan menerjang permukiman.

● Tanggul yang ringkih

Tanggul di banyak daerah sudah tua, tidak diperbarui, dan kalah oleh volume air yang meningkat drastis.

● Sungai yang menyempit

Sempitnya alur sungai—baik karena sedimentasi ataupun bangunan liar—membuat air meluap tanpa hambatan.

● Zona rawan yang tidak terpetakan

Banyak daerah yang sesungguhnya berbahaya tetap dihuni karena peta kerawanan tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak dipatuhi.

 3. Ketiadaan Sistem Perlindungan Warga yang Standar

Bencana besar memperlihatkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah belum memiliki standar keselamatan yang memadai.

Kekurangan yang sangat mencolok:

● Tidak ada shelter evakuasi berstandar nasional

Banyak warga terjebak karena tidak ada bangunan aman yang bisa melindungi mereka dari banjir dan longsor.

● Jalur evakuasi tidak jelas dan tidak teruji

Warga tidak tahu harus lari ke mana, karena jalurnya tidak disiapkan, atau malah ikut tertutup longsor.

● Tidak ada pelatihan simulasi bencana

Kesiapan masyarakat terbatas karena simulasi bencana jarang atau tidak pernah dilakukan secara rutin.

● Izin permukiman yang longgar

Masih banyak kawasan pemukiman dan industri berdiri di daerah rawan banjir, rawan longsor, dan rawan luapan sungai.


Apa yang Harus Diperbaiki?

Bencana ini adalah peringatan keras bahwa Indonesia tidak boleh lagi bergantung pada keberuntungan.

1. Bangun Sistem Peringatan Dini Terintegrasi Berbasis AI

Seluruh data BMKG, BRIN, BIG, dan BNPB harus berada dalam satu dashboard nasional, real-time, dengan model prediksi berbasis AI.

2. Perkuat Infrastruktur Tahan Bencana

·       Stabilitas lereng dan rehabilitasi hutan rawan longsor

·       Tanggul sungai yang diperkuat

·       Normalisasi sungai dan antisipasi sedimentasi

·       Audit menyeluruh terhadap infrastruktur rawan runtuh

3. Standarisasi Keselamatan Daerah

·       Setiap provinsi wajib memiliki shelter evakuasi

·       Jalur evakuasi dipetakan ulang dan diuji setiap tahun

·       Program simulasi bencana wajib dan berkelanjutan

4. Reformasi Tata Ruang Berbasis Risiko

Stop memberikan izin konstruksi di zona merah bencana.
Relokasi harus diprioritaskan demi keselamatan jangka panjang.

 Kata Ungkapan Penutup

Bencana memang sudah terjadi. Kehilangan ratusan nyawa tidak bisa dikembalikan. Namun dari tragedi ini, kita diberi kesempatan untuk memperbaiki sesuatu yang selama ini dibiarkan rapuh.

Kita tidak boleh mengulang luka yang sama. Yang harus diperbaiki bukan hanya tanggul, bukan hanya jalan— tetapi sistem, tata ruang, dan kesiapan kita sebagai bangsa.