Harmen Batubara
Bencana Siklon Senyar di Sumatera—melanda Aceh, Sumatera
Utara, dan Sumatera Barat—telah merenggut lebih dari 600 jiwa dan
meninggalkan 468 orang yang masih hilang. Angka itu bukan hanya
menunjukkan dahsyatnya kekuatan alam, tetapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya
kesiapan kita menghadapi bencana besar.
Salah satu kelemahan mendasar adalah minimnya integrasi
antarlembaga penting seperti BMKG, BRIN, BNPB, dan BIG. Data dan informasi
vital yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan belum terhubung
secara optimal. Belum lagi, pemanfaatan teknologi canggih seperti Artificial
Intelligence (AI) masih sangat kurang. Padahal, AI bisa membantu memprediksi
bencana lebih akurat, memetakan area rawan, dan mengoptimalkan respons darurat.
Infrastruktur di daerah rawan bencana juga menjadi sorotan utama. Banyak tebing dan hutan di area rawan longsor tidak memiliki penanganan yang memadai. Tanggul-tanggul sungai masih rapuh, dan penyempitan aliran sungai memperparah risiko banjir. Selain itu, pemetaan zona rawan bencana belum dilakukan secara detail dan akurat, sehingga masyarakat dan pemerintah tidak memiliki informasi lengkap untuk mitigasi.
Kita harus mengakui satu hal dengan jujur:
bencana ini terjadi di wilayah yang memang rawan, dan kerawanannya
diperparah oleh sistem kebencanaan yang belum sempurna.
1. Sistem
Kebencanaan yang Belum Terintegrasi
Indonesia memiliki lembaga-lembaga penting seperti: BMKG (cuaca dan iklim), BRIN (riset dan pemodelan atmosfer), BNPB (penanganan bencana), BIG (informasi geospasial).
Namun dalam praktiknya, keempat lembaga ini belum
terhubung dalam satu sistem peringatan dini terpadu, apalagi yang
memanfaatkan AI untuk memprediksi anomali cuaca ekstrem.
Siklon Senyar muncul tanpa antisipasi. Tanpa peringatan
jelas. Tanpa waktu yang cukup bagi warga untuk menyelamatkan diri.
Ini bukan salah satu lembaga, melainkan gambaran bahwa integrasi
data cuaca–geospasial–riset–kebencanaan belum berjalan secara real-time.
2. Infrastruktur Daerah yang Tidak Tahan Bencana
Kerusakan besar terjadi karena banyak infrastruktur di
daerah rawan tidak dirancang untuk menghadapi cuaca ekstrem.
Beberapa kelemahan paling terlihat:
● Tebing
dan lereng yang rapuh
Banyak lereng tidak diperkuat, ditambah deforestasi di
kawasan rawan longsor. Akibatnya, sedikit saja tekanan cuaca ekstrem membuat tanah
runtuh dan menerjang permukiman.
● Tanggul
yang ringkih
Tanggul di banyak daerah sudah tua, tidak diperbarui,
dan kalah oleh volume air yang meningkat drastis.
● Sungai
yang menyempit
Sempitnya alur sungai—baik karena sedimentasi ataupun
bangunan liar—membuat air meluap tanpa hambatan.
● Zona
rawan yang tidak terpetakan
Banyak daerah yang sesungguhnya berbahaya tetap dihuni
karena peta kerawanan tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak dipatuhi.
Bencana besar memperlihatkan bahwa sebagian besar
pemerintah daerah belum memiliki standar keselamatan yang memadai.
Kekurangan yang sangat mencolok:
● Tidak ada
shelter evakuasi berstandar nasional
Banyak warga terjebak karena tidak ada bangunan aman
yang bisa melindungi mereka dari banjir dan longsor.
● Jalur
evakuasi tidak jelas dan tidak teruji
Warga tidak tahu harus lari ke mana, karena jalurnya
tidak disiapkan, atau malah ikut tertutup longsor.
● Tidak ada
pelatihan simulasi bencana
Kesiapan masyarakat terbatas karena simulasi bencana
jarang atau tidak pernah dilakukan secara rutin.
● Izin
permukiman yang longgar
Masih banyak kawasan pemukiman dan industri berdiri di
daerah rawan banjir, rawan longsor, dan rawan luapan sungai.
Bencana ini adalah peringatan keras bahwa Indonesia
tidak boleh lagi bergantung pada keberuntungan.
1. Bangun
Sistem Peringatan Dini Terintegrasi Berbasis AI
Seluruh data BMKG, BRIN, BIG, dan BNPB harus berada
dalam satu dashboard nasional, real-time, dengan model prediksi berbasis AI.
2. Perkuat
Infrastruktur Tahan Bencana
· Stabilitas lereng dan rehabilitasi hutan rawan longsor
· Tanggul sungai yang diperkuat
· Normalisasi sungai dan antisipasi sedimentasi
· Audit menyeluruh terhadap infrastruktur rawan runtuh
3.
Standarisasi Keselamatan Daerah
· Setiap provinsi wajib memiliki shelter evakuasi
· Jalur evakuasi dipetakan ulang dan diuji setiap tahun
· Program simulasi bencana wajib dan berkelanjutan
4.
Reformasi Tata Ruang Berbasis Risiko
Stop memberikan izin konstruksi di zona merah bencana.
Relokasi harus diprioritaskan demi keselamatan jangka panjang.
Bencana memang sudah terjadi. Kehilangan ratusan nyawa tidak bisa dikembalikan. Namun dari tragedi ini, kita diberi kesempatan untuk memperbaiki sesuatu yang selama ini dibiarkan rapuh.
Kita tidak boleh mengulang luka yang sama. Yang harus diperbaiki bukan
hanya tanggul, bukan hanya jalan— tetapi sistem, tata ruang, dan kesiapan
kita sebagai bangsa.



No comments:
Post a Comment