July 12, 2018

Era Jokowi-JK 10 Ribu Desa Tertinggal Menjadi Desa Berkembang



Era Jokowi-JK  10 Ribu Desa Tertinggal Menjadi Desa Berkembang
Selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 hingga pertengahan 2018 ini 10.000 desa telah naik kelas dari desa tertinggal menjadi desa berkembang. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo menyebutkan data tersebut diambil dari survei yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Desa-desa tersebut telah naik kelas itu karena memenuhi sejumlah syarat seperti Jalan, Rumah Sakit, Mandi Cuci Kakus (MCK), hingga peningkatan pendapatan. "Kan syarat desa tertinggal menjadi berkembang kan ada jalan, ada rumah sakit, pendapatan berapa, ada MCK, nah itu yang sudah ada 10.000," kata Eko saat ditemui di acara IDF 2018 di Kuningan[1], Jakarta Selatan, Rabu (11/7/2018).
Adapun untuk mengembangkan desa-desa pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 187 triliun periode 2015 hingga 2018. Baca: Halal Bihalal dengan Insan Media dan KPID DKI Jakarta, Anies Harap KPI Dapat Memainkan Perannya Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menyalurkan dana desa sebesar Rp187 triliun terhitung sejak 2015-2018.Dana desa merupakan salah satu program Jokowi untuk pemerataan pembangunan nasional.
Untuk rinciannya pada tahun 2015 dana yang disalurkan sebesar Rp 20,67 triliun untuk 74.093 desa. Pada 2016, anggaran dana mencapai Rp 46,98 triliun yang disebarkan kepada 74.754 desa dan  pada 2017, Rp 60 triliun untuk 74.910 desa. "Dana yang disalurkan ke desa sampai akhir tahun ini Rp 187 triliun," pungkas Eko Putro Sandjojo.

Nah Kalau anda ingin mengetahui Peran BumDes dalam mengentaskan kemiskinan di Desa maka anda perlu membaca buku ini –Mendirikan & Membangun BumDes Sesuai UU Desa- ISBN-978-602-336-620-0 -Jumlah halaman : 335 halaman :
Buku ini menjelaskan dengan cara sederhana bagaimana proses dan prosedur mendirikan BumDes yang diamanatkan UU Desa No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Harapannya adalah agar semua desa di Indonesia memiliki badan usaha milik desa. Dari 74.250 desa di Indonesia, sampai akhir 2016 hanya sekitar 29 persen yang telah merintis berdirinya badan usaha milik desa (BUMDes). Dari 29 persen desa yang telah merintis pembentukan BUMDes, hanya 39 persen yang BUMDes-nya aktif dalam kegiatan ekonomi produktif. Mayoritas masih BUMDes normatif, sekadar memiliki legalitas AD/ART dan baru terbatas ditopang alokasi penyertaan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang jumlahnya pun tidak signifikan. Untuk Desa pemerintah telah mengucurkan DANA DESA dan menggencarkan Sertifikasi Tanah Secara Gratis.
BumDes kini kini jadi harapan, keberadaannya menjadi perhatian para penggerak pemberdayaan pengembangan Daya Saing Desa seantero Dunia. Karena apa? Karena BumDes ini adalah bisnis yang digerakkan oleh semangat sosial Gotong Royong dan di dukung oleh program Dana Desa berciri khas Indonesia. Semua pihak kini berharap Badan usaha milik desa BumDes menjadi solusi untuk mengatasi berbagai persoalan, seperti pengangguran hingga ketimpangan kesejahteraan. Kalau desa-desa itu memang terlalu kecil dan terlalu miskin untuk mendirikan sebuah BumDes maka mereka tetap dapat didirikan BUMDes bersama yang merupakan badan usaha yang didirikan oleh beberapa desa. BumDes memang sangat menjanjikan.



[1] http://m.tribunnews.com/nasional/2018/07/11/selama-pemerintahan-jokowi-10-ribu-desa-lepas-status-tertinggal

June 18, 2018

Meningkatkan Kreativitas Penggerak Desa



Meningkatkan Kreativitas Penggerak Desa
Oleh Ivanovich Agusta

Pembangunan desa sedang di persimpangan jalan. Sepanjang 2015-2017, sumber daya finansial dari pusat dan daerah memadati anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) hingga Rp 240 triliun. Terbangun lonjakan infrastruktur lokal berikut honor bagi kader pengelola. Namun, kesempatan kerja, pendapatan warga, dan pengurangan kemiskinan terlalu sedikit membaik.
Yang menarik, di belantara pendapatan asli desa yang secuil, rata-rata Rp 3 juta/tahun, mencuat 157 desa unicorn yang berhasil mengapitalisasi potensi desa menjadi pendapatan asli lebih dari Rp 1 miliar/tahun. Perbedaannya, desa umumnya sekadar membangun dengan cara klise dan berulang, desa unicorn kreatif membaca potensi dari sudut milenial, menapaki jejaring bisnis dan birokrasi, lantas mempersembahkan arsitektur berikut aktivitas warga yang segar.
Ceruk baru ini menuntun arah anyar pembangunan desa, yaitu meningkatkan kapasitas penggerak desa hingga melambung ke puncak kreativitasnya.
Sejak 2014 marak pelatihan bagi perangkat desa dan pengurus lembaga kemasyarakatan. Kemendagri, Kemenkeu, dan pemerintah daerah melatih lebih dari 200.000 perangkat desa agar menaati peraturan perundangan. Lembaga pelatihan swasta menambah kursus pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes). Pemerintah desa menganggarkan minimal Rp 30 juta per tahun untuk menghadiri dan membayar berbagai pelatihan.
Sayang, pelatihan itu berhenti pada pendisiplinan aturan. Padahal, telah muncul kebutuhan meningkatkan jenjang menjadi kreatif membaca regulasi sehingga mampu mencipta diskresi bagi peluang ekonomi baru. Pada puncaknya, kini dibutuhkan sertifikat kompetensi guna meyakinkan mitra kerja sama desa, bahwa pemerintahan desa dikelola dengan baik dan inovasi senantiasa dikembangkan pengelola lembaga yang kreatif.
Kompetensi pelatihan secara bertingkat sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) jenjang ke-2, 3, 4, dan 5 diwadahi Akademi Desa 4.0. Ini ikhtiar Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) untuk mendasarkan kreativitas sebagai basis baru pembangunan desa.
Jenjang pelatihan dimulai dari proses pendirian dan tata kelola lembaga pemerintah maupun ekonomi lokal, agar eksistensinya diwadahi hukum di Indonesia serta perangkat aktif menjalankan kegiatan. Jenjang kedua, mengarah pada kemanfaatan lembaga bagi pengguna, baik warga setempat, konsumen dari luar desa, swasta yang bekerja sama, hingga pemerintah supra- desa. Jenjang ketiga, kreatif menggali potensi internal lembaga sesuai kebutuhan pengguna. Jenjang terakhir diarahkan untuk memperluas jaringan kepada birokrasi, bisnis, dan penggiat desa. Jaringan bisnis dan kelembagaan dikembangkan sampai ke luar negeri.
Substansi pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan terkini para pemangku desa, meliputi pelatihan kepala desa, sekretaris desa, perangkat desa. Pelatihan juga diarahkan pada pengelola lembaga kemasyarakatan, seperti pengurus BUMDes, pengelola PKK, pengelola kegiatan pembangunan, hingga lembaga agama. Secara khusus, pelatihan diarahkan juga pada pendamping desa, pendamping kawasan pedesaan, dan pendamping daerah tertinggal.
Pembelajaran kewirausahaan di kelas hanya mencakup maksimal 30 persen jam pelajaran. Selebihnya berupa kajian studi kasus desa, mendalami contoh berkaitan dengan kreativitas pemerintah desa dan pengurus lembaga desa serta studi lapangan. Pelatihan diakhiri otoetnografi untuk merefleksikan potensi dan peluang lembaganya sendiri, lalu menyusun perencanaan aksi pascapelatihan.
Kemanfaatan alumni bagi desa dimonitor melalui aplikasi daring dan kunjungan lapangan. Selain mendokumentasikan manfaat Akademi Desa 4.0, tracing study sekaligus mencatat kreativitas baru bagi perbaikan pembelajaran berikutnya.
Ekosistem pengetahuan
Untuk menjaga kesuburan kreativitas desa, dikembangkan ekosistem pengetahuan spesifik desa. Basis data dikumulasikan pada Pusat Data Desa Indonesia. Pengetahuan ensiklopedis di dalamnya mencakup segala aspek desa di tingkat individu, RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, dan perbandingan antarnegara. Partisipan pelatihan dan alumni berkesempatan mendalami secara khusus wilayah operasional lembaganya, atau membandingkan dengan inovasi wilayah pedesaan lainnya.
Ekosistem pengetahuan internal disusun dari basis data Kemendesa PDTT yang kini mulai lengkap, kompilasi inovasi desa dari berbagai sumber (https://inovasidesa.kemendesa. go.id), serta pustaka terbaru besutan Akademi Desa 4.0.
Adapun jaringan pengetahuan eksternal diperluas bersama berbagai lembaga yang kompeten. BKKBN berbagi basis data 76 juta keluarga Indonesia, dan menyediakan 7.000 tempat kursus di hampir semua kecamatan. Setidaknya 43 perguruan tinggi di sejumlah provinsi turut menyediakan lokasi dan pelatih. Lembaga-lembaga kursus desa yang terakreditasi Kementerian Desa PDTT turut menggaungkan pelatihan di seantero Nusantara.
Konsep ekosistem pengetahuan desa akhirnya membuka berbagai kerja sama baru yang menguntungkan warga desa. Contohnya, target sertifikasi kompetensi 750.000 tenaga kerja konstruksi dari Kementerian PUPR mudah dipenuhi melalui jaringan Akademi Desa 4.0 di semua kecamatan. UU No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi mengamanatkan tukang bersertifikat digaji lebih tinggi. Artinya, kompetensi pekerjaan terbesar kedua di desa ini berpeluang mengangkat pendapatan warga.

Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan Kemendesa PDTT ; sumber : Kompas.id Akademi Desa 4.0 tanggal 18 Juni 2018

April 13, 2018

BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Pasti Sejahtera




BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera

Selama ini drama susahnya para petani takkala PANEN RAYA adalah Bulog yang tidak mampu menyerap panen gabah mereka. Seperti kejadian di tahun 2017. Perum Bulog menetapkan target penyerapan beras dan gabah tahun 2017 mencapai 3,7 juta ton[1]. Target penyerapan tahun ini lebih rendah dari target penyerapan tahun 2016 yang mencapai 3,9 juta ton. Pasalnya realisasi penyerapan gabah dan beras Bulog sepanjang tahun 2016 hanya 2,97 juta ton. Hal itu disebabkan harga beras di tingkat petani yang sudah meningkat di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sehingga Bulog tidak perlu melakukan penyerapan kecuali untuk kebutuhan stok saja.  Direktur Pengadaan Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, dari target penyerapan tahun ini sebesar 3,7 juta ton, Bulog menargetkan penyerapan beras public service obligation (PSO) sebesar 3,2 juta ton beras komersil 500 ton. Ia bilang, target penyerapan beras dan gabah Bulog tahun ini dibuat berdasarkan realisasi penyerapan tahun 2016 yang jauh dari target. Kendati demikian, penyerapan tahun 2016 jauh di atas realisasi penyerapan tahun 2015 sebesar 2,4 juta ton.
"Kami optimistis target penyerapan ini dapat tercapai kalau kondisi cauaca bagus dan normal," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (19/1/2018).  Ia menjelaskan kendala utama yang dialami Bulog untuk mencapai target penyerapan tahun lalu adalah harga beras di lapangan sudah tinggi atau di atas HPP yakni Rp 7.300 per kilogram (kg). Bila Bulog memaksakan terus menyerap, maka akan terjadi lonjakan harga dan hal ini berpotensi membuat inflasi lebih tinggi.  Namun kalau melihat laporan Kementerian Pertanian (Kemtan) tahun lalu yang produksi mencapai 79 juta ton gabah kering giling (GKG), maka target penyerapan tahun ini dapat tercapai.  Sejumlah upaya juga dilakukan Bulog untuk mencapai target tersebut, yakni dengan : Pertama, optimalisasi program ON FARM Perum Bulog melalui kerja sama dengan Gabungan kelompok tani (gapoktan) maupun sinergi dengan BUMN lain seperti PT Pertani Persero yang memiliki mesin giling padi dan pengering serta gudang; Kedua, Bulog mengoptimalkan penyerapan gabah dan beras dengan rentang kualitas dan harga tertenttu yang memungkinkan Bulog bisa mencapai jumlah serapan yang lebih besar dengan memperkuat unit-unit pengolahan di daerah; Ketiga, Bulog juga melakukan pengembangan infrastruktur ; Keempat, meningkatkan pasar beras selain PSO antara lain dengan pengembangan jaringan rumah pangan kita (RPK), lumbung pangan desa atau BUMdes yang digagas Kementerian Desa.
Selain itu, Bulog juga akan mempersiapkan stok pangan untuk program rakyat miskin (raskin) dimana pada tahun ini di bagi dua. Pertama lewat program raskin dan kedua lewat penggunaan evo-cer atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dimana setiap masyakat memiliki uang non tunai sebesar Rp 110.000 per bulan untuk pembelian beras. Meskipun program ini ada, namun Tri menilai tidak berdampak signifikan pada penyerapan Bulog karena volume beras yang disiapkan sama dengan tahun lalu yakni 15,7 juta ton. Khusus untuk raskin sebesar 14,2 juta ton dan untuk pasar e vocer sebesar 1,6 juta ton.
BumNas Masih Sibuk Dengan Dirinya Sendiri
Dalam penglihatan kita, secara konsep peran Bulog sudah sesuai dengan Visi dan Misi nya tetapi dalam pelaksanaannya, terlihat ketidak siapan mereka dalam melihat Dinamika pasar. Begitu sesuatu terjadi perubahan maka terkesan mereka “ memintak petunjuk lagi” ke Pusat. Hal seperti ini tidak jauh bedanya dengan cara penaggulangan Bencana pada era sebelum pemerintahan Jokowi-JK.  Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Williem Rampangilei[2] menceritakan tentang ketidakpuasan Presiden Jokowi dalam penanggulangan bencana di Indonesia. "Berawal dari gempa Pidie Aceh pada Desember 2016, Presiden tidak puas dengan cara kerja di lapangan dalam penangangan bencana dan minta percepatan," ujar Williem di depan 3.200 peserta Rapat Kerja Nasional BNPB-BPBD 2017 di Yogyakarta, Kamis (23/2/2017). Dengan ketidakpuasan ini, cara kerja penanggulangan bencana pun diubah. Semula ketika terjadi bencana, penilaian dan verifikasi infrastruktur untuk rekonstruksi dilakukan pasca tahap tanggap bencana. Sebab, pada tanggap bencana biasanya fokus pada penyelamatan manusia. Tapi, karena Presiden tidak puas, tahap itu pun dilakukan bersamaan dengan verifikasi infrastruktur yang rusak untuk tahap rekonstruksi.


"Jadi ketika satu hari verifikasi menemukan 15 bangunan rusak, langsung keesokan harinya bantuan ditransfer dari pemerintah ke warga bersangkutan, tidak perlu melewati tahap birokrasi yang berlapis-lapis dan memakan waktu berbulan-bulan," ucap dia. BNPB, kata Williem, juga menurunkan tim untuk menganalisis, sehingga ketika tanggap darurat selesai, rekonstruksi dan rehabilitasi pun juga bisa selesai lebih cepat.Karena itu, dia mengatakan, personel BPBD harus berkualitas dan bersertifikasi. Bulog juga harus belajar dari cara kerja BNPB.,sehingga setiap tahun tidak terkesan selalu kedodoran serta membuat masyarakat bingung dengan stabilitas harga.
Hal yang sama juga bisa kita temukan pada komoditi lain, misalnya pada harga-harga Bawang merah atau bawang putih. Yang terjadi di pasaran sebenarnya sangat jelas, kalau pasokan berkurang maka harga akan mengalami kenaikan. Proses itu sebenarnya terjadi tidak dalam waktu seketika. Artinya kalau memang kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian bekerja dengan baik, mereka juga sudah pasti tahu bakal apa yang akan terjadi pada komoditas tertentu. Sehingga dengan mekanisme serta kerja sama lewat jaringan mereka, pastilah dapat berbuat sesuatu sehingga kenaikan harga-harga tidak menjadi gaduh di saantero negeri. Mari kita lihat contoh berikut ini.
Pasokan Kurang Harga Bawang Merah[3] Naik Rp 2.000/Kg. Sejak awal Februari 2018, harga bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, mulai mengalami kenaikan. Kenaikan ini dipicu jumlah menurunnya produksi bawang pada Februari. Pantauan di pasar Induk Brebes pada Senin (5/2/2018) siang, kenaikan harga bawang rata rata sebesar Rp 2.000 per kg. Ini berlaku pada semua jenis bawang kecuali bawang ukuran paling kecil. Tati (40), salah satu pedagang eceran bawang di Pasar Induk Brebes menjelaskan, kenaikan harga ini sudah berlangsung sejak 3 hari lalu. "Kalau dirata-rata kenaikannya Rp.2.000 untuk semua jenis, kecuali yang paling kecil. Bawang kelas pabrikan ini masih rendah seperti kemarin kemarin," ujar Tati saat ditemui di kompleks Pasar Induk Brebes. Ditempat terpisah, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari mengatakan, harga bawang merah di petani saat ini memang sudah sedikit mengalami kenaikan. Yakni, kualitas super dari semula Rp 6.000 per kg untuk kualitas super naik menjadi Rp 8.000 tiap kg. Meski mengalami kenaikan namun belum bisa memberikan keuntungan bagi petani. Sebab, harga minimal bawang merah agar petani mendapatkan untung adalah di kisaran Rp.13.000 - Rp.15.000 tiap kg.
Kenaikan itu terjadi menurut Juwari, karena stok di petani mulai berkurang. Akan tetapi, ketika panen kembali terjadi di daerah, maka diperkirakan harga akan kembali anjlok.  Kabid perdagangan Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Kabupaten Brebes, Ahmad Ma'mun mengungkapkan, kenaikkan ini akibat produksi bawang yang mengalami penurunan hingga lebih dari 50 persen. Dikatakan, pada bulan Januari lalu, jumlah produksi bawang merah di Brebes mencapai 86 ribu ton dan pada bukan Februari turun menjadi 32 ribu ton."Kemarin sudah mulai membaik harganya. Kenaikkan rata rata Rp 1.000 sampai Rp 3.000 per kg. Ini di semua pasar pasar yang ada di Brebes. Tidak hanya di pasar Induk saja tapi kenaikan di semua pasar," terang Ahmad Ma'mun saat melakukan pengecekan harga di Pasar Induk. Kenaikan ini diprediksi akan terus berlangsung, sepanjang produk bawang dari luar baik dari luar negeri maupun luar kota, tidak merambah ke pasaran Brebes.
Contoh lainnya terkait komoditi bawang putih  Menjelang bulan Ramadan, harga bawang putih mengalami kenaikan cukup di sejumlah pasar. Kenaikan harga sendiri sudah berlangsung selama kurang lebih 2 pekan terakhir[4]. Harga komoditas bumbu dapur naik dari di kisaran Rp 60.000/kg, dari sebelumnya kisaran Rp 40.000/kg.Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto, mengungkapkan kenaikan harga bawang putih tersebut dipicu kenaikan harga bawang putih di China. Sebagai informasi, sebanyak sekitar 95% kebutuhan bawang putih bergantung impor, terbanyak dari China."Setelah kita lakukan kajian, informasi dari importir, kenaikan bawang putih terjadi karena kelangkaan bawang putih di China. Biasanya sudah panen, tapi karena cuaca baru panen di sekitar akhir Mei dan Juni," jelas Prihasto kepada detikFinance, Minggu (7/5/2017).
Diungkapkannya, bawang putih yang beredar di pasaran saat ini merupakan stok lama. Harga akan kembali normal setelah pasokan bawang putih kembali pulih. "Bawang putih yang ada saat ini itu yang dikeluarkan dari stok lama. Karena memang di China belum panen," ungkap Prihasto. Lanjut dia, sebenarnya ada pasokan bawang putih impor lain yang cukup besar selain dari China, yakni yang berasal dari India. Namun rupanya bawang putih India kurang laku di pasaran."Sebenarnya ada cukup banyak stok bawang putih dari India, saat bersamaan bawang putih dari China berkurang. Tapi di pasar kurang laku," ujar Prihasto.

Dari contoh kedua komiditi tersebut, maka terlihat dengan sangat jelas bagaimana sebenarnya mekanisme harga-harga itu bergerak naik, dan kalau mereka yang mempunyai tugas untuk menstabilkan harga-harga itu bekerja dengan baik, maka jauh sebelum keadaan itu tiba mereka sudah bisa berbuat sesuatu. Dengan demikian berbagai kabar kenaikan harga-harga komditi itu tidak jadi berita yang nggak sedap didengar di setiap waktu. Kita hanya ingin mengatakan bahwa mereka yang diberi amanah untuk menjaga harga-harga komoditi itu, ya belum bekerja sebagaimana mestinya serta masih sangat jauh dari yang diharapkan.


Dalam khasanah teori Bulog sendiri sebenarnya mempunyai strategi dan kemitraan dengan para pihak guna membantu para Petani perdesaan. Bulog mempunyai sejumlah upaya yang dilakukan  Bulog untuk mencapai target tersebut dalam hal pembelian panen raya warga, yakni dengan : Pertama, optimalisasi program ON FARM Perum Bulog melalui kerja sama dengan Gabungan kelompok Tani (gapoktan) maupun sinergi dengan BUMN lain seperti PT Pertani Persero yang memiliki mesin giling padi dan pengering serta gudang; Kedua, Bulog mengoptimalkan penyerapan gabah dan beras dengan rentang kualitas dan harga tertentu yang memungkinkan Bulog bisa mencapai jumlah serapan yang lebih besar dengan memperkuat unit-unit pengolahan di daerah; Ketiga, Bulog juga melakukan pengembangan infrastruktur ; Keempat, meningkatkan pasar beras selain PSO antara lain dengan pengembangan jaringan rumah pangan kita (RPK), lumbung pangan desa atau BUMdes yang digagas Kementerian Desa. Tetapi dalam realitanya, semua itu sepertinya belum memperlihatkan kinerja yang semesatinya. Bulog belum menyatu dengan harapan serta upaya para petani dalam menghadirkan kesejahteraan di Pedesaan.
Karena itulah kita sangat berharap agar BUMDES dan BUMN bisa bersinergi untuk menjadikan Rakyat sejahtera di Desa mereka. BUMDes merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi bersama antara pemerintah desa dan masyarakat. BUMDes merupakan bentuk public and community partnership atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. BumDes adalah jelmaan budaya bisnis warga perdesaan dalam semangat Gotong Royong. Kalau kita melihat BumDes jawara Indonesia tahun 2016, maka sadarlah kita betapa Model pembangunan Desa lewat BumDes ini bisa menghadirkan kesedejahteraan di Desa. Salah satu hal yang ditunggu-tunggu adalah bagaimana pola kerjasama Sinergis antara BUMN, Kementerian/Lembaga (K/L), Koperasi dan Swasta yang dapat membesarkan BumDes dan ikut membantu menjadikan Rakyat Sejahtera di Perdesaan. Nah Buku ini, mencoba meperlihatkan potensi itu dengan pandangan mata yang jernih dan optimis. ( Cuplikan Buku : BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera)



[1] http://www.bulog.co.id/berita/37/6004/10/1/2017/Target-Bulog-Penyerapan-Beras-&-Gabah-3,7-Juta-Ton.html
[2] http://www.liputan6.com/news/read/2866488/presiden-tidak-puas-bnpb-ubah-cara-kerja-penanggulangan-bencana
[3] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3850758/pasokan-kurang-harga-bawang-merah-naik-rp-2000kg
[4] https://finance.detik.com/sosok/d-3494309/penyebab-harga-bawang-putih-naik-pasokan-dari-china-berkurang

March 14, 2018

Bisnis Di Desa Tumbuh Berkad Dana Desa



Bisnis Di Desa Tumbuh Berkad Dana Desa

Memasuki Desa Baumata Utara, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebidang tanah seluas tiga hektar di sisi kiri jalan. Lahan itu ditumbuhi berbagai jenis tanaman hortikultura dan palawija. Itulah kebun contoh desa setempat. Hasil produksi dijual pada lima pasar tradisional di Kota Kupang, dan sebagian dikonsumsi warga. Dalam lahan itu juga dipelihara sapi dan sejenisnya di bawah pengelola BUMDes.

Kebun desa ini merupakan implementasi dari program Taman Eden yang digagas Bupati Kupang Ayup Titu Eki pada 2016. Program itu adalah pemberdayaan ekonomi warga dengan memanfaatkan lahan kosong. Di Desa Baumata Utara, realisasi program Taman Eden, selain membangun kebun percontohan, juga mengefektifkan lahan pekarangan milik warga setempat dengan menanam hortikultura dan palawija. Dari budidaya itu setiap keluarga mampu meraup pendapatan bersih berkisar Rp 30 juta-Rp 50 juta per tahun.
Mulai merintis
Program Taman Eden merupakan kelanjutan dari program Paksa Tanam-Tanam Paksa yang dicanangkan Bupati Titu Eki pada 2009-2016. Fokus program itu pada penanaman tanaman umur panjang, seperti kopi, kemiri, kelapa, pinang, nangka, dan mangga. ”Setelah sebagian lahan dipadati tanaman keras, bupati meluncurkan Taman Eden (TE). Lahan-lahan kosong diwajibkan ditanami berbagai jenis tanaman hortikultura dan palawija,” kata Kepala Desa Baumata Utara Anika Aome.
Desa Bautama Utara berada sekitar 30 km arah tenggara Kota Kupang. Setelah TE diluncurkan Januari 2016, Aome mengumpulkan warga, melakukan musyawarah perencanaan dan pembangunan desa (musrembangdes). Saat itu, 13 keluarga atau 20 jiwa sepakat memanfaatkan pekarangan seluas 3 hektar (ha). Kebetulan areal 3 ha itu terletak berdampingan.
April 2016, warga mulai tanam kol, sawi, tomat, singkong, cabai, timun, jahe, serai, kemangi, naga, labu kuning, dan lengkuas. Memasuki musim hujan ditanami lagi jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Semua tanaman menggunakan pupuk organik.
Satu tahun mereka mampu panen empat kali. Tak semua jenis tanaman dipanen sekaligus, tetapi bertahap. Beberapa jenis tanaman, seperti cabai, tomat, sawi, kemangi, dan kol, tidak bisa dipanen selama musim hujan kecuali saat kemarau, dengan memanfaatkan sumur bor, yang disiapkan desa.
Hasil panen langsung dijual ke lima pasar tradisional di Kota Kupang. Hasilnya, setiap keluarga meraup keuntungan bersih Rp 30 juta-Rp 50 juta per tahun. Itu baru dari penjualan sayur. Tiap keluarga juga menyetorkan Rp 100.000 kepada BUMDes.
Dana desa
Realisasi program Taman Eden di wilayah Baumata Utara mulanya disuntik dengan modal dari dana desa senilai Rp 239 juta dari Rp 603 juta yang dialokasikan bagi desa tersebut. Dana itu dimanfaatkan dengan membeli satu unit traktor, pengadaan satu sumur bor dan pompa, selang, dan keran air ke setiap pemilik lahan. Selain itu, pengadaan bibit dan membangun satu unit rumah seluas 20 meter persegi untuk menyimpan alat-alat pertanian.
Dibangun pula 4 unit bak, 50 cm x 50 cm, tinggi 40 cm untuk menampung air. Kandang berukuran 15 meter x 20 meter untuk 12 ekor sapi milik 13 keluarga. Para petani terbagi dalam sejumlah kelompok, termasuk kelompok peternak. Setiap kelompok peternak beranggotakan 30 orang. Setiap anggota mendapatkan ternak sapi 2 ekor (jantan dan betina).
”Tahun ini kami membeli 45 sapi bibit, 42 sapi betina dan 3 jantan, dibagikan kepada warga. Satu ekor Rp 5 juta untuk jantan dan betina Rp 4,5 juta. Warga yang belum mendapatkan sapi diberi 1 ekor untuk dipelihara. Tiap keluarga wajib memelihara sapi. Dari 297 keluarga, ada 80 keluarga belum mendapatkan sapi. Target tahun 2020, semua keluarga mendapatkan itu,” kata Aome.

Desa Batumata Utara berpenduduk 1.319 orang terdiri atas 297 keluarga. Warga lain di luar kelompok tani dan ternak diberi kesempatan mengerjakan proyek padat karya pembangunan jalan desa. Proyek sejak 2016 itu telah membangun jalan desa 3,5 km. Setiap hari mereka diupah Rp 40.000–Rp 50.000.
Sesuai hasil musyawarah desa juga diadakan satu unit mesin giling jagung dan dua unit mesin parut kelapa. Mesin dengan harga masing-masing Rp 3,5 juta ini dikelola kaum perempuan. Setiap bulan, pengguna mesin wajib setor 20 persen dari penghasilan ke BUMDes. Kerusakan mesin tanggung jawab kelompok.
BUMDes mengadakan tenda ”mobile” empat unit, 1.000 buah kursi plastik, 30 bohlam untuk disewakan. Satu tenda Rp 100.000, satu kursi Rp 1.000, dan bohlam Rp 25.000 per bohlam untuk 100 watt. Fasilitas ini biasa disewa warga desa atau di luar desa untuk acara nikah, wisuda, rapat desa, atau pesta-pesta lain. Uang dari penyewaan ini masuk ke kas BUMDes.
BUMDes juga menyediakan tiga unit traktor. Pemanfaatan traktor tangan di dalam wilayah desa, misalnya bayar Rp 10.000 per are, di luar desa Rp 15.000 per are. Kerusakan saat penyewaan, tanggung jawab penyewa.
Penggunaan dana desa sesuai ketentuan. Di mana untuk pemberdayaan 30 persen, infrastruktur 30 persen, pembinaan 10 persen, penyelenggaraan pemerintahan 29 persen, dan 1 persen untuk dana tak terduga. Sementara gaji (honor) 5 anggota staf desa termasuk kepala desa, 8 Pegawai BUMDes, 3 kepala dusun, 12 ketua RT, dan 6 ketua RW diambil dari alokasi dana desa. Dana desa 2018 Rp 400 juta.
Desa ini juga memiliki sebuah kios tani. Kios ini menyediakan bibit pertanian, pupuk organik, pembasmi hama organik, dan alat-alat pertanian. Total dana BUMDes mencapai Rp 435 juta. BUMDes ini diprioritaskan untuk simpan pinjam, khusus membangun ekonomi warga.
”Sampai tahun 2015, desa ini selalu dilanda rawan pangan dan gizi buruk. Akan tetapi, sejak 2016 sampai sekarang, kami masuk hidup baru. Beberapa warga sudah punya traktor, dump truck, mobil pikap, kios sembako, sekolahkan anak ke perguruan tinggi, dan punya rumah bagus,” ujar Anache Saubakhe (32), warga Desa Baumata Utara, dengan penuh kebanggaan.



SumBer : Bangun Hidup Baru dari Dana Desa oleh Kornelis Kewa Ama ; Kompas.id, 14 Maret 2018,

February 8, 2018

BumDes Menggerakkan Kegiatan Ekonomi Dari Perdesaan



Buku Yang Ingin Ikut Menyongsong Munculnya Ekonomi Kerakyatan di Perdesaan

Jumlah BUMDes di Indonesia, kini mencapai 22.000 unit lebih. Namun, hanya ada 8.000 unit BUMDes yang aktif dan hanya 4.000 unit BUMDes yang menguntungkan. Banyak BumDes yang hanya sekedar punya nama dan badan hukum, tetapi belum berbuat apa-apa. “BUMDes ada juga yang baru mulai, tetapi ada pula yang sudah sukses. Persoalan utamanya umumnya di keterbatasan SUMBER DAYA MANUSIA. Harus diakui dari 74.910 desa yang ada di Indonesia, memang tidak banyak yang mempunyai sumber daya manusia yang baik. Tetapi siapapun percaya bahwa ke depan BumDes akan muncul jadi solusi bagi berbagai persoalan ekonomi di pedesaan. Sebagai contoh mari kita lihat BumDes Tirta Mandiri Desa Ponggok Klaten ini. BumDes yang mampu menjadi Solusi bagi warga Desanya. Kita percaya BumDes dengan kesuksesan mereka ini nantinya akan bisa ditemukan dimana-mana di Desa Persada Nusantara. ( Di ambil dari Buku Mendirikan & Membangun BumDes Sesuai UU Desa).


Mari Kita Lihat Contoh Bumdes Yang Sukses-BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok
Bercerita soal desa Ponggok Klaten Jawa Tengah ini, banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi dalam membangun eonomi berbasis komunitas di desa. Betapa tidak, dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dimilikinya, BUMDes Tirta Mandiri, desa ini sekarang berubah menjadi desa mandiri dengan perekonomian warganya yang terus meningkat. Salah satu BUMDes yang saat ini didaulat menjadi BUMDes terbaik adalah BUMDes Tirta Mandiri di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dengan pengelolaan yang tepat, kesejahteraan masyarakat di desa tersebut pun terus meningkat.
Padahal, pada 2001 Desa Ponggok justru masuk dalam daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT). Letak geografis di dataran rendah lereng Merapi, sebenarnya membuat Ponggok kaya dengan sumber mata air seperti umbul Ponggok, Besuki, Kajen, Kapilaler, dan Sigedang. Tapi hal tersebut kala itu tak cukup membuat Ponggok sejahtera. Kemudian perubahan itupun mulai dating dengan lahirnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan nama Tirta Mandiri, yang merupakan sebuah usaha yang digagas di bidang kepariwisataan. Terletak di Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Desa Ponggok, BUMDes ini dinobatkan oleh Kemendes PDTT pada tahun 2016 sebagai salah satu BUMDes terbaik. Dan sekaligus sebagai BUMDes dengan usaha yang memiliki omset mencapai 10.36 Milyar dengan Laba Bersih 6,5 Milyar. Bahkan saat ini BUMDesTirta Mandiri telah berhasil mengembangkan usahanya dengan mendirikan minimarket, dan rumah makan tenda. Tadinya usaha mereka hanya berawal dari wisata air yaitu kolam renang.
Padahal lokasi wisata Umbul Pongok dulunya hanya dimanfaatkan untuk mandi, cuci, pengairan dan keperluan hidup lainnya. Tapi melihat potensi yang besar dan berbekal daftar inventarisasi potensi dan peta aset desa, forum musyawarah Desa Ponggok melakukan rumbuk usaha untuk menyepakati gagasan pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset desa melalui BUMDes.
Dengan usaha yang creative animo masyarakat yang tertarik berkunjung sangat luar biasa. Yaitu 600 pengunjung hanya pada hari biasa dan meningkat hingga 2 kali lipat lebih selama masa liburan dan saat weekend yakni mencapai 1.500 pengunjung. Sebuah capaian yang luar biasa dan sekaligus menunjukkan bahwa desa juga memiliki potensi untuk bisa bersaing dengan daerah perkotaan yang notabene lebih maju. Kunci keberhasilah Desa Ponggoh dalam menghasilkan BUMDes yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakatnya tentu patut dicontoh. Terutama bagai desa desa lain yang baru akan memulai membuka usaha BUMDes nya. Untuk kepemtingan penelitian atau kajian Anda pada langkah berikutnya. Ada baiknya and abaca dahulu sejarahnya BumDes Yirta Mandiri ini, untuk kemudian ambil inti sarinya untuk kemudian menjadi masukan bagi anda dalam melakukan kajian terkait jenis usaha apa yang cocok untuk Desa Anda. 
Sejarah Berdirinya BUMDes Tirta Mandiri[1]
Sesuai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Bab VII bagian kelima yang menyatakan Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pendirian BUMDes, kemudian berdasarkan PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa dan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 20 Tahun 2006 tentang Badan Usaha Milik Desa.
Berdasarkan undang-undang dan peraturan di atas, maka muncul gagasan dari Kepala Desa Ponggok, Klaten Jawa Tengah melalui mekanisme musyawarah Desa sebagai wujud melembagakan demokrasi lokal dengan mempertemukan BPD, Pemerintah Desa dan Kelompok warga untuk membahas isu-isu strategis salah satunya soal pendirian BUMDes. Mendirikan BUMDes pada dasarnya membangun tradisi berdemokrasi di desa untuk mencapai derajat ekonomi masyarakat desa yang lebih tinggi. Dengan berbekal daftar inventarisasi potensi dan peta aset desa, forum musyawarah Desa Ponggok melakukan praktik DELIBERATIVE DEMOCRACY untuk menyepakati gagasan pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset desa melalui BUMDes. Dengan pertimbangan yang matang Pemerintah Desa Ponggok mendirikan BUMDes pada tanggal 15 Desember 2009 berdasarkan keputusan yang dituangkan dalam PERATURAN DESA No 06 Tahun 2009 dengan nama BUMDes Tirta Mandiri.
BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok dalam perjalanannya mengalami banyak kendala, walaupun sudah menjadi keputusan bersama tetapi masih ada kelompok masyarakat yang memandang sebelah mata. Sentimen negatif berkembang sehingga masyarakat semakin pesimis BUMDes bisa berkembang apalagi membawa perubahan untuk kesejahteraan masyarakat. Belum lagi masalah keterbatasan SDM, sangat sulit menemukan orang yang betul-betul mau berjuang untuk merintis dan mengelola BUMDes, selain BUMDes merupakan lembaga yang baru. Tetapi bukan berarti tidak ada orang yang mau mendukung dan berjuang walaupun hanya beberapa saja. Awal terbentuknya BUMDes usaha yang dikelola hanya toko pakan ikan dan pinjaman modal bagi masyarakat serta merintis kegiatan pariwisata Umbul Ponggok sebagai wahana rekreasi. Dengan berbekal keyakinan dan kerja keras para pengurus BUMDes serta motivasi yang tiada henti dari Kepala Desa Ponggok, perlahan-lahan namun pasti BUMDes mengalami pergerakan yang lebih baik. Dalam jangka waktu satu tahun BUMDes sudah menghasilkan laba Rp. 100.000.000,- dan disetor sebagai PAD sebesar Rp. 30.000.000,- (30% dari laba) pada Tahun 2010.
Kepala Desa Ponggok yang dijabat oleh Bapak Junaedi Mulyono, SH merupakan sosok yang visioner, melihat masa depan. Beliau selalu menyampaikan gagasan dengan prinsip Believing is Seeing (kalau kita percaya pasti kita akan melihat) itu yang menjadi kekuatan luar bisa untuk tidak pernah menyerah dalam mewujudkan cita-cita, karena menyadari bahwa untuk meyakinkan masyarakat tidaklah mudah, kebanyakan masyarakat berfikiran Seeing is Believing (kalau melihat baru percaya), maka perlu bukti untuk menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat. Pada masa pemerintahan periode pertama sudah melakukan terobosan-terobosan program yang membawa perubahan yang mendasar di masyarakat. Mulai dari pembangunan infrastruktur, jalan poros desa, jalan kampung, jalan usaha tani dan jalan yang menghubungkan obyek wisata Desa Ponggok, jembatan, saluran irigasi pertanian, fasilitas sosial pendidikan, fasilitas sosial kesehatan dan fasilitas ekonomi dengan membangun kios kuliner bagi masyarakat serta membangun Kantor Desa yang megah sebagai kebanggaan dan jati diri Desa Ponggok. Pemerintah Desa Ponggok juga mengembangkan kegiatan sosial, memberikan santunan, pelatihan ketrampilan dan pelatihan motivasional serta pengajian rutin tingkat desa. Dalam bidang ekonomi berupaya menumbuhkan semangat wirausaha bagi masyarakat melalui bantuan modal, pelatihan kewirausahaan dan pendirian Lembaga Ekonomi Desa yaitu BUMDes. Pada periode kedua sektor ekonomi menjadi prioritas utama pembangunan, dengan pemperkuat BUMDes sebagai kekuatan ekonomi lokal untuk mewujudkan kejahteraan masyarakat dan peningkatan sumber pendapatan asli desa. BUMDes mendapatkan dukungan yang besar dari desa dengan dilakukanya revitalisasi Obyek Wisata Umbul Ponggok yang saat ini menjadi sumber pendapatan terbesar BUMDes. Mulai Tahun 2015 sampai Tahun 2019 Ponggok akan mengembangkan semua Obyek Wisata yang dimiliki sehingga potensi dan asset desa bisa dimanfaatkan secara optimal untuk memperoleh pendapatan bagi masyarakat maupun PAD dalam melangsungkan pembangunan secara berkelanjutan. Dengan mengelola satu Obyek Wisata saja yaitu Umbul Ponggok terbukti pada Tahun 2014 PAD yang diterima dari hasil usaha BUMDes sudah sebesar Rp. 350.000.000,- apalagi kalau Ponggok sudah mengelola lima Obyek Wisata, pastinya pendapatan yang diterima akan berlipat. Keberadaan BUMDes sekarang sudah sangat besar manfaatnya bagi masyarakat karena mampu mengurangi angka pengangguran di Desa Ponggok melalui penyerapan tenaga kerja lokal sebagai karyawan BUMDes yang berjumlah 25 Orang.
Keberadaan BUMDes juga mendorong tumbuhnya kegiatan produktif masyarakat dengan dibukanya kios-kios kuliner untuk masyarakat di lokasi obyek wisata Umbul Ponggok, serta menumbuh kembangkan iklim investasi bagi masyarakat, karena BUMDes sudah berhasil GO PUBLIC dengan menjual saham kepada masyarakat Ponggok untuk mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan usaha BUMDes. Inilah sebuah bukti dari usaha dan kerja keras yang dibangun oleh Pemerintah Desa Ponggok, BUMDes dan masyarakat sehingga BUMDes merupakan lembaga yang berpengaruh besar dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Desa Ponggok bisa membuktikan keberhasilan ini dan akan terus berupaya untuk meningkatkan pendapatan yang dihasilkan dari usahanya sendiri melalui BUMDes sehingga Ponggok betul-betul bisa menjadi Desa Mandiri. Pemerintah Desa Ponggok juga tidak hanya berfikir untuk masyarakat Desa Ponggok sendiri tetapi juga melakukan serangkaian kegiatan sharing kepada Kepala Desa di Kabupaten Klaten bahkan kepada desa desa se-Indonesia melalui STUDY BANDING agar setiap desa memiliki BUMDes sesuai dengan Nawa Cita kerja Kementrian Desa, Transmigrasi dan Pembangunan Daerah tertinggal yaitu berupaya untuk membentuk dan mengembangkan BUMDes untuk lebih memajukan perekonomian warga sehingga desa menjadi lebih mandiri. Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi No 1/2015 yang secara tegas memandu jenis-jenis kewenangan desa untuk pegembangan ekonomi lokal desa. Membangun BUMDes juga telah diamanatkan dalam UU No 6/2014 tentang Desa (UU Desa) Pasal 87 UU Desa dan pasal 132 PP 43 sama-sama memakai frasa desa dapat mendirikan BUMDes.
Awal terbentuknya BUMDes Tirta Mandiri Unit Usaha yang dikelola baru berupa TOKO PAKAN IKAN dan KOPERASI SIMPAN PINJAMAN Modal Bagi Masyarakat, pengelolaan air bersih serta merintis kegiatan pariwisata Umbul Ponggok sebagai wahana rekreasi. Di awal berdirinya BumDes ini hanya memiliki 3 orang karyawan, sekarang karyawan sudah 82 orang yang seluruhnya berasal dari masyarakat desa setempat. “Dengan gaji diatas UMR kabupaten (UMR Kabupaten Klaten Rp 1.527.500). Artinya di satu desa ga perlu lagi harus berbondong bondong ke kota, di sini sendiri kita sudah bisa memberi penghidupan yang layak; begitu selalu yang pengurus katakan. Jika pada 2012 pendapatan kotor BUMDes Tirta Mandiri sekitar Rp 150 juta. Setahun kemudian meningkat menjadi Rp 600 juta. Kemudian 2014 melonjak Rp 1,1 miliar. Pada 2015 melebihi target yang ditentukan Rp 3,8 miliar menjadi Rp 6,1 miliar. Tahun 2016 dengan pimpinan BUMDes yang baru, target Rp 9 miliar terealisasi Rp 10,3 miliar.


[1] Disarikan dari tulisan tentang BumDes Tirta Mandiri dari - http://bumdestirtamandiri.co.id/profil-bumdes/

January 24, 2018

Lomba Menulis Dana Desa - Kemendesa Gelar Lomba Menulis Dengan Hadiah Total Rp. 85 Juta



Lomba Menulis Dana Desa Kemendesa Gelar Lomba Menulis Dengan Hadiah Total  Rp. 85 Juta


Anda Pelajar? Mahasiswa yang Suka Dengan Pembangunan Desa?  atau Pendamping Desa? Ini kesempatan Anda untuk mengikuti LOMBA MENULIS DANA DESA yang digelar oleh Kementerian  Desa, Pembangunan Derah Tertinggal dan transmigrasi (PDTT). Anda bisa menuangkan gagasan Anda mengenai tema itu dalam tiga artikel. Kalau  menang, hadiahnya lumayan dan pasti buat Anda Senang total nya  Rp. 85,5 juta. Mau tahu cara mengikutinya?
Lomba ini boleh diikuti pelajar, mahasiswa dan pendamping desa. Memiliki Kartu Tanda Penduduk, Kartu mahasiswa atau Kartu Siswa. Ketiga, peserta harus mengirimkan minimal 3 artikel. Jadi, mulai sekarang Anda bisa mulai mengumpulkan materinya buat Risetnya untuk kemudian Anda susun menjadi artikel yang menarik dan bermakna. Mau tahu mekanisme mengikuti lomba ini?
Pertama, pendaftaran dibuka tanggal 1-15 Februari 2018 dengan mengisi formulir yang bisa Anda unduh di www.kemendesa.go.id. Kedua, pengiriman karya peserta harus dalam bentuk artikel atau esai deskiptif ke alamat tulisdanadesa@forumbumdes.org dan ketiga, batas akhir pengumpulan artikel tanggal 31 Maret 2018. Lalu, apa tema yang harus ditulis?
Anda bisa memilih beberapa tema ini untuk Anda jadikan tema artikel Anda yakni:
1.      Tentang transfer dan pencairan dana desa
2.      Pendampingan dana desa
3.      Penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dan pemberdayaan
4.      Manfaat dan desa bagi berbagai pihak
5.      Dapak yang timbul dari dana desa

Lima tema di atas adalah tema mengenai desa yang saat ini sedang hangat diberitakan berbagai media dan media atau lembaga yang konsentrasi pada pembangunan desa. Pembangunan desa sendiri saat ini mulai menjadi wacana besar dan mendapat sorotan banyak pihak karena kebijakan pemerintah menurunkan dana desa dalam jumlah besar langsung ke desa-desa.

Kucuran dana desa dalam jumlah besar itu tak lantas membuat desa langsung bisa berubah karena hal itu berarti desa dituntut mampu membangun dirinya secara swakelola alias mengelola dana dengan kekuatan desanya sendiri. Realitasnya, ada banyak desa yang tidak memiliki sumber daya yang cukup memadai untuk menjalankan itu. Maklum, selama ini anak-anak muda yang seharusnya menjadi asset desa berharga sebagian besar memilih hidup dan bekerja di kota.
Masalah pengelolaan dana juga menjadi salahsatu perkara yang tak mudah dijalankan. Soalnya,  desa harus menggunakan sebagian dana itu untuk membangun Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan asset dan potensinya. Artinya, dana desa sama sekali bukan dana yang bisa seluruhnya dicurahkan untuk membangun infrastruktur saja seperti yang selama ini berlaku. Melainkan harus menjadi modal bagi desa menciptakan unit usaha yang menghasilkan laba dan kemudian mensejahterakan kehidupan seluruh warganya.

Bisa dikatakan, besarnya dana dan turun langsung ke desa adalah kebijakan yang menjadi program prioritas dalam pembangunan pada pemerintahan Presiden JokoWi-JK hingga mencapai 60 Triliun Suatu Program yang tiada duanya di Dunia. Pembangunan Nawa Cita yang memulai pembangunan dari daerah perbatasan, daerah pinggiran atau membangun Indonesia dari pinggiran.

January 10, 2018

Dana Desa, Transparansi Dengan Pola Pengasuhan

Dana Desa, Transparansi Dengan Pola Pengasuhan

Oleh Dahlia Irawati  
                                     
Dana desa adalah isu paling seksi setelah dibuatnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Belakangan, banyak ditemukan ketidaksiapan desa menerima dana ratusan juta rupiah setiap tahunnya. Tidak sedikit cerita kurang sedap mengenai dana desa dengan segala keturunannya.


 KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Warga Desa Pandanlandung, Senin (5/6/2017), memasang APBDesa tahun 2017 di depan pendopo balai desa. Transparansi APBDesa tersebut menjadi kewajiban desa setelah menerima dana desa. Dengan transparansi anggaran tersebut, masyarakat diharapkan turut mengontrol penggunaan dana desa.

Pernah muncul wacana, dana desa akan dihentikan untuk mencegah uang rakyat terbuang sia-sia. Pilihan pemerintah paling akhir adalah, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal , dan Transmigrasi, membuat nota kesepahaman dengan Polri. Bahwa polisi akan ikut mengawasi dana desa (Oktober 2017). Sejak hari itu, polisi hingga tingkat kepolisian sektor (polsek), menjadi elang yang ”memata-matai” desa. Banyak kepala desa panik, karena merasa urusannya tidak hanya warga desa, tetapi juga jajaran samping (polisi).
Jika mengandaikan desa adalah anak, dan pemerintah sebagai orangtuanya, tindakan ”memata-matai” dan mengancam anak bukanlah hal bagus dalam parenting style (gaya pengasuhan) orangtua atas anaknya.
Diana Baumrind, ahli psikologi perkembangan asal Amerika, sebagaimana dikutip dalam buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja karya Syamsu Yusuf (2009) mengatakan, ada beberapa model pengasuhan orangtua atas anak, yaitu otoritarian, permisif, dan otoritatif.
Otoritarian bercirikan sikap penerimaan rendah dan sangat mengontrol, suka menghukum secara fisik, kaku, mengomando tanpa kompromi, dan cenderung emosional dalam bertindak. Pola pengasuhan otoritarian akan menghasilkan anak pemberontak, penakut, stres, pemurung, dan tidak memiliki masa depan yang jelas.
Permisif bercirikan penerimaan tinggi, tetapi kontrol rendah, dan memberikan kebebasan pada anak untuk mendapatkan keinginannya. Pola pengasuhan ini akan menghasilkan anak terlalu bebas tak terkontrol.
Sedangkan pola pengasuhan otoritatif bercirikan sikap penerimaan dan kontrol tinggi, responsif akan kebutuhan anak, mendorong anak menyatakan pendapat, dan mau menjelaskan dampak perbuatan baik atau buruk yang dilakukan anak. Pola ini cenderung menghasilkan anak yang terhindar dari kegelisahan, kekacauan, dan perilaku nakal (bersahabat, berprestasi, dan memiliki masa depan terang).
Dalam buku yang sama, Erikson mengatakan, jika anak diasuh dengan rasa percaya, maka pada anak akan timbul rasa positif dan percaya pada sekitar (termasuk pada orangtuanya). Sebaliknya, jika orangtua mengedepankan rasa tidak percaya, maka anak pun akan hidup dalam sikap negatif, tidak percaya, frustrasi, dan kurang percaya diri.
Berkaca dari teori pengasuhan itu, lalu kita mau ”anak” kita seperti apa? Kita mau anak pemberontak, pemurung, dan tidak bermasa depan, atau sebaliknya anak bahagia, positif, berprestasi, dan bermasa depan cerah?
Begitu pun dengan desa. Ibarat anak, desa dengan dana desanya adalah anak balita. Sebagai orangtua anak balita, maka terlalu keras dan berharap terlalu cepat (dan banyak) pada desa, justru akan membuat mereka tertekan, memberontak, pemurung, dan tak memiliki masa depan. Relakah anak kita tidak bermasa depan?

UU desa dibuat untuk mengembalikan ”kecakapan” desa setelah dipasung dengan UU No 5/1979 tentang Desapraja, oleh pemerintahan Orde Baru. Salah satu bentuk kecakapan desa yang didorong, misalnya, pengelolaan desa. Sebagaimana diatur dalam UU Desa Pasal 26 Ayat 2 mengenai tugas kepala desa.
Lalu sekarang, apakah kita memaknai UU desa hanya sebatas dana desanya saja? Bagaimana tanggung jawab memulihkan kepercayaan diri orang desa yang sejak puluhan tahun dipasung? Adilkah jika kita kemudian memandang orang desa yang sedang tertatih bangkit hanya dengan kacamata kecurigaan semata?
Pengawasan
Meski tidak setuju dengan model pengawasan ”mata elang' orangtua pada anaknya, dalam mengelola dana desa, bukan berarti pemerintah bisa membiarkan dana desa dikorupsi. Dalam perkembangannya, anak dengan kematangan emosional dan sosial, akan paham apa yang baik dan tidak baik untuknya dan keluarganya (orangtua).

Begitu pun desa. Biarkan desa berkembang dengan kearifan lokalnya sendiri. Beberapa desa mencontohkan bahwa mereka bisa mengawasi penggunaan dana desa dengan menguatkan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan desa (karang taruna, pembinaan kesejahteraan keluarga, lembaga pemberdayaan masyaraat desa, dan lainnya). Inovasi desa memanfaatkan dana desa pun terus bermunculan. Mungkin gerak desa-desa itu masih pelan. Namun, cukup menjanjikan.
Bisakah kita memberikan kepercayaan pada mereka? Siapa kita? Kita adalah pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan pihak-pihak lain yang selama ini lebih berkuasa, yang kini harus rela membagi anggaran cukup besar ke pemerintah desa.

Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya. Anak- anak muda di sana mengambil peran dalam pembangunan desa, mengawasi penggunaan dana desa sendiri, dan mampu mengembangkan musyawarah bersama untuk menyelesaikan persoalan desa di tingkat desa, UU Desa Pasal 26 Ayat 4k, (Kompas, 10/8). Kunci keberhasilan di sana adalah adanya pendamping mumpuni atau tokoh desa yang mengawal jalannya pemerintahan desa dalam rel yang benar.
Bukankah yang terjadi di Desa Pandanlandung adalah inti UU desa? UU No 6/2014 mencatat bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, perilaku, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui program, kegiatan, dan pendampingan sesuai prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Untuk mencapai itu semua, pengaturan desa harus berasaskan keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Dan, itu semua bisa tercapai jika kualitas SDM-nya mendukung.
Yang bisa dilakukan pemerintah sebenarnya adalah mendorong terus lahirnya orang-orang desa yang peduli desanya dan paham UU desa. Orang-orang inilah yang bisa mengawal tumbuh kembang desa dengan benar.
Bukan sekadar paham memanfaatkan dana desa, tetapi juga bisa mengembalikan kejayaan desa. Bukan ”memata-matai” desa dengan mata elang yang siap menyikat mangsa saat kesempatan datang. Dan, pastinya, yang jelas UU desa bukan hanya aturan tentang dana desa saja. Sumber : kompas.id,10 Januari 2018