January 10, 2018

Dana Desa, Transparansi Dengan Pola Pengasuhan

Dana Desa, Transparansi Dengan Pola Pengasuhan

Oleh Dahlia Irawati  
                                     
Dana desa adalah isu paling seksi setelah dibuatnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Belakangan, banyak ditemukan ketidaksiapan desa menerima dana ratusan juta rupiah setiap tahunnya. Tidak sedikit cerita kurang sedap mengenai dana desa dengan segala keturunannya.


 KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Warga Desa Pandanlandung, Senin (5/6/2017), memasang APBDesa tahun 2017 di depan pendopo balai desa. Transparansi APBDesa tersebut menjadi kewajiban desa setelah menerima dana desa. Dengan transparansi anggaran tersebut, masyarakat diharapkan turut mengontrol penggunaan dana desa.

Pernah muncul wacana, dana desa akan dihentikan untuk mencegah uang rakyat terbuang sia-sia. Pilihan pemerintah paling akhir adalah, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal , dan Transmigrasi, membuat nota kesepahaman dengan Polri. Bahwa polisi akan ikut mengawasi dana desa (Oktober 2017). Sejak hari itu, polisi hingga tingkat kepolisian sektor (polsek), menjadi elang yang ”memata-matai” desa. Banyak kepala desa panik, karena merasa urusannya tidak hanya warga desa, tetapi juga jajaran samping (polisi).
Jika mengandaikan desa adalah anak, dan pemerintah sebagai orangtuanya, tindakan ”memata-matai” dan mengancam anak bukanlah hal bagus dalam parenting style (gaya pengasuhan) orangtua atas anaknya.
Diana Baumrind, ahli psikologi perkembangan asal Amerika, sebagaimana dikutip dalam buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja karya Syamsu Yusuf (2009) mengatakan, ada beberapa model pengasuhan orangtua atas anak, yaitu otoritarian, permisif, dan otoritatif.
Otoritarian bercirikan sikap penerimaan rendah dan sangat mengontrol, suka menghukum secara fisik, kaku, mengomando tanpa kompromi, dan cenderung emosional dalam bertindak. Pola pengasuhan otoritarian akan menghasilkan anak pemberontak, penakut, stres, pemurung, dan tidak memiliki masa depan yang jelas.
Permisif bercirikan penerimaan tinggi, tetapi kontrol rendah, dan memberikan kebebasan pada anak untuk mendapatkan keinginannya. Pola pengasuhan ini akan menghasilkan anak terlalu bebas tak terkontrol.
Sedangkan pola pengasuhan otoritatif bercirikan sikap penerimaan dan kontrol tinggi, responsif akan kebutuhan anak, mendorong anak menyatakan pendapat, dan mau menjelaskan dampak perbuatan baik atau buruk yang dilakukan anak. Pola ini cenderung menghasilkan anak yang terhindar dari kegelisahan, kekacauan, dan perilaku nakal (bersahabat, berprestasi, dan memiliki masa depan terang).
Dalam buku yang sama, Erikson mengatakan, jika anak diasuh dengan rasa percaya, maka pada anak akan timbul rasa positif dan percaya pada sekitar (termasuk pada orangtuanya). Sebaliknya, jika orangtua mengedepankan rasa tidak percaya, maka anak pun akan hidup dalam sikap negatif, tidak percaya, frustrasi, dan kurang percaya diri.
Berkaca dari teori pengasuhan itu, lalu kita mau ”anak” kita seperti apa? Kita mau anak pemberontak, pemurung, dan tidak bermasa depan, atau sebaliknya anak bahagia, positif, berprestasi, dan bermasa depan cerah?
Begitu pun dengan desa. Ibarat anak, desa dengan dana desanya adalah anak balita. Sebagai orangtua anak balita, maka terlalu keras dan berharap terlalu cepat (dan banyak) pada desa, justru akan membuat mereka tertekan, memberontak, pemurung, dan tak memiliki masa depan. Relakah anak kita tidak bermasa depan?

UU desa dibuat untuk mengembalikan ”kecakapan” desa setelah dipasung dengan UU No 5/1979 tentang Desapraja, oleh pemerintahan Orde Baru. Salah satu bentuk kecakapan desa yang didorong, misalnya, pengelolaan desa. Sebagaimana diatur dalam UU Desa Pasal 26 Ayat 2 mengenai tugas kepala desa.
Lalu sekarang, apakah kita memaknai UU desa hanya sebatas dana desanya saja? Bagaimana tanggung jawab memulihkan kepercayaan diri orang desa yang sejak puluhan tahun dipasung? Adilkah jika kita kemudian memandang orang desa yang sedang tertatih bangkit hanya dengan kacamata kecurigaan semata?
Pengawasan
Meski tidak setuju dengan model pengawasan ”mata elang' orangtua pada anaknya, dalam mengelola dana desa, bukan berarti pemerintah bisa membiarkan dana desa dikorupsi. Dalam perkembangannya, anak dengan kematangan emosional dan sosial, akan paham apa yang baik dan tidak baik untuknya dan keluarganya (orangtua).

Begitu pun desa. Biarkan desa berkembang dengan kearifan lokalnya sendiri. Beberapa desa mencontohkan bahwa mereka bisa mengawasi penggunaan dana desa dengan menguatkan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan desa (karang taruna, pembinaan kesejahteraan keluarga, lembaga pemberdayaan masyaraat desa, dan lainnya). Inovasi desa memanfaatkan dana desa pun terus bermunculan. Mungkin gerak desa-desa itu masih pelan. Namun, cukup menjanjikan.
Bisakah kita memberikan kepercayaan pada mereka? Siapa kita? Kita adalah pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan pihak-pihak lain yang selama ini lebih berkuasa, yang kini harus rela membagi anggaran cukup besar ke pemerintah desa.

Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya. Anak- anak muda di sana mengambil peran dalam pembangunan desa, mengawasi penggunaan dana desa sendiri, dan mampu mengembangkan musyawarah bersama untuk menyelesaikan persoalan desa di tingkat desa, UU Desa Pasal 26 Ayat 4k, (Kompas, 10/8). Kunci keberhasilan di sana adalah adanya pendamping mumpuni atau tokoh desa yang mengawal jalannya pemerintahan desa dalam rel yang benar.
Bukankah yang terjadi di Desa Pandanlandung adalah inti UU desa? UU No 6/2014 mencatat bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, perilaku, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui program, kegiatan, dan pendampingan sesuai prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Untuk mencapai itu semua, pengaturan desa harus berasaskan keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Dan, itu semua bisa tercapai jika kualitas SDM-nya mendukung.
Yang bisa dilakukan pemerintah sebenarnya adalah mendorong terus lahirnya orang-orang desa yang peduli desanya dan paham UU desa. Orang-orang inilah yang bisa mengawal tumbuh kembang desa dengan benar.
Bukan sekadar paham memanfaatkan dana desa, tetapi juga bisa mengembalikan kejayaan desa. Bukan ”memata-matai” desa dengan mata elang yang siap menyikat mangsa saat kesempatan datang. Dan, pastinya, yang jelas UU desa bukan hanya aturan tentang dana desa saja. Sumber : kompas.id,10 Januari 2018


No comments:

Post a Comment