Dana Desa, Transparansi Dengan Pola Pengasuhan
Oleh Dahlia Irawati
Dana desa adalah isu paling seksi setelah dibuatnya
Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Belakangan, banyak
ditemukan ketidaksiapan desa menerima dana ratusan juta rupiah setiap tahunnya.
Tidak sedikit cerita kurang sedap mengenai dana desa dengan segala
keturunannya.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Warga Desa Pandanlandung, Senin (5/6/2017), memasang APBDesa
tahun 2017 di depan pendopo balai desa. Transparansi APBDesa tersebut menjadi
kewajiban desa setelah menerima dana desa. Dengan transparansi anggaran
tersebut, masyarakat diharapkan turut mengontrol penggunaan dana desa.
Pernah muncul wacana, dana desa akan dihentikan untuk mencegah
uang rakyat terbuang sia-sia. Pilihan pemerintah paling akhir adalah,
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal , dan Transmigrasi, membuat
nota kesepahaman dengan Polri. Bahwa polisi akan ikut mengawasi dana desa
(Oktober 2017). Sejak hari itu, polisi hingga tingkat kepolisian sektor
(polsek), menjadi elang yang ”memata-matai” desa. Banyak kepala desa panik,
karena merasa urusannya tidak hanya warga desa, tetapi juga jajaran samping (polisi).
Jika mengandaikan desa adalah anak, dan pemerintah sebagai
orangtuanya, tindakan ”memata-matai” dan mengancam anak bukanlah hal bagus
dalam parenting style (gaya pengasuhan) orangtua atas anaknya.
Diana Baumrind, ahli psikologi perkembangan asal Amerika,
sebagaimana dikutip dalam buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja karya
Syamsu Yusuf (2009) mengatakan, ada beberapa model pengasuhan orangtua atas
anak, yaitu otoritarian, permisif, dan otoritatif.
Otoritarian bercirikan sikap penerimaan rendah dan sangat
mengontrol, suka menghukum secara fisik, kaku, mengomando tanpa kompromi, dan
cenderung emosional dalam bertindak. Pola pengasuhan otoritarian akan
menghasilkan anak pemberontak, penakut, stres, pemurung, dan tidak memiliki
masa depan yang jelas.
Permisif bercirikan penerimaan tinggi, tetapi kontrol rendah,
dan memberikan kebebasan pada anak untuk mendapatkan keinginannya. Pola
pengasuhan ini akan menghasilkan anak terlalu bebas tak terkontrol.
Sedangkan pola pengasuhan otoritatif bercirikan sikap penerimaan
dan kontrol tinggi, responsif akan kebutuhan anak, mendorong anak menyatakan
pendapat, dan mau menjelaskan dampak perbuatan baik atau buruk yang dilakukan
anak. Pola ini cenderung menghasilkan anak yang terhindar dari kegelisahan,
kekacauan, dan perilaku nakal (bersahabat, berprestasi, dan memiliki masa depan
terang).
Dalam buku yang sama, Erikson mengatakan, jika anak diasuh
dengan rasa percaya, maka pada anak akan timbul rasa positif dan percaya pada
sekitar (termasuk pada orangtuanya). Sebaliknya, jika orangtua mengedepankan
rasa tidak percaya, maka anak pun akan hidup dalam sikap negatif, tidak
percaya, frustrasi, dan kurang percaya diri.
Berkaca dari teori pengasuhan itu, lalu kita mau ”anak” kita
seperti apa? Kita mau anak pemberontak, pemurung, dan tidak bermasa depan, atau
sebaliknya anak bahagia, positif, berprestasi, dan bermasa depan cerah?
Begitu pun dengan desa. Ibarat anak, desa dengan dana desanya
adalah anak balita. Sebagai orangtua anak balita, maka terlalu keras dan berharap
terlalu cepat (dan banyak) pada desa, justru akan membuat mereka tertekan,
memberontak, pemurung, dan tak memiliki masa depan. Relakah anak kita tidak
bermasa depan?
UU desa dibuat untuk mengembalikan ”kecakapan” desa setelah
dipasung dengan UU No 5/1979 tentang Desapraja, oleh pemerintahan Orde Baru.
Salah satu bentuk kecakapan desa yang didorong, misalnya, pengelolaan desa.
Sebagaimana diatur dalam UU Desa Pasal 26 Ayat 2 mengenai tugas kepala desa.
Lalu sekarang, apakah kita memaknai UU desa hanya sebatas dana
desanya saja? Bagaimana tanggung jawab memulihkan kepercayaan diri orang desa
yang sejak puluhan tahun dipasung? Adilkah jika kita kemudian memandang orang
desa yang sedang tertatih bangkit hanya dengan kacamata kecurigaan semata?
Pengawasan
Meski tidak setuju dengan model pengawasan ”mata elang' orangtua
pada anaknya, dalam mengelola dana desa, bukan berarti pemerintah bisa
membiarkan dana desa dikorupsi. Dalam perkembangannya, anak dengan kematangan
emosional dan sosial, akan paham apa yang baik dan tidak baik untuknya dan
keluarganya (orangtua).
Begitu pun desa. Biarkan desa berkembang dengan kearifan
lokalnya sendiri. Beberapa desa mencontohkan bahwa mereka bisa mengawasi
penggunaan dana desa dengan menguatkan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan
desa (karang taruna, pembinaan kesejahteraan keluarga, lembaga pemberdayaan
masyaraat desa, dan lainnya). Inovasi desa memanfaatkan dana desa pun terus
bermunculan. Mungkin gerak desa-desa itu masih pelan. Namun, cukup menjanjikan.
Bisakah kita memberikan kepercayaan pada mereka? Siapa kita?
Kita adalah pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan
pihak-pihak lain yang selama ini lebih berkuasa, yang kini harus rela membagi
anggaran cukup besar ke pemerintah desa.
Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa
Timur, misalnya. Anak- anak muda di sana mengambil peran dalam pembangunan
desa, mengawasi penggunaan dana desa sendiri, dan mampu mengembangkan
musyawarah bersama untuk menyelesaikan persoalan desa di tingkat desa, UU Desa
Pasal 26 Ayat 4k, (Kompas, 10/8). Kunci keberhasilan di sana adalah adanya
pendamping mumpuni atau tokoh desa yang mengawal jalannya pemerintahan desa
dalam rel yang benar.
Bukankah yang terjadi di Desa Pandanlandung adalah inti UU desa?
UU No 6/2014 mencatat bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya
mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, perilaku, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya
melalui program, kegiatan, dan pendampingan sesuai prioritas kebutuhan
masyarakat desa.
Untuk mencapai itu semua, pengaturan desa harus berasaskan
keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah,
demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan
keberlanjutan. Dan, itu semua bisa tercapai jika kualitas SDM-nya mendukung.
Yang bisa dilakukan pemerintah sebenarnya adalah mendorong terus
lahirnya orang-orang desa yang peduli desanya dan paham UU desa. Orang-orang
inilah yang bisa mengawal tumbuh kembang desa dengan benar.
Bukan sekadar paham memanfaatkan dana desa, tetapi juga bisa
mengembalikan kejayaan desa. Bukan ”memata-matai” desa dengan mata elang yang
siap menyikat mangsa saat kesempatan datang. Dan, pastinya, yang jelas UU desa
bukan hanya aturan tentang dana desa saja. Sumber : kompas.id, 10 Januari 2018
No comments:
Post a Comment