January 6, 2018

Masyarakat Desa Berdesa


Masyarakat Desa Berdesa       

Ditulis Oleh : Sutoro Eko

Selama ini kita mengenal konsep bermasyarakat, ber­bangsa dan bernegara, tetapi tidak pernah mengenal kon­sep berdesa, meskipun orang Jawa secara samar-samar mengenal konsep “merdeso”. Masyarakat berdesa atau tra­disi berdesa bukan sekadar mengandung tradisi bernegara secara korporatis (tunduk pada kebijakan dan regulasi neg­ara) atau bermasyarakat secara parokhial (hidup bersama atau tolong menolong berdasarkan garis kekerabatan, ag­ama, etnis atau yang lain).

Tradisi berdesa mengandung unsur bermasyarakat dan bernegara di ranah desa. Desa menjadi wadah kolektif da­lam bernegara dan bermasyarakat. Pertama, desa menjadi basis identitas dan basis sosial atau menjadi basis memupuk modal sosial, yakni memupuk tradisi solidaritas, kerjasama, swadaya, gotong royong secara inklusif yang melampaui ba­tas-batas eksklusif seperti kekerabatan, suku, agama, aliran atau sejenisnya. Kedua, desa memiliki kekuasaan dan ber­pemerintahan, yang di dalamnya mengandung otoritas (ke­wenangan) dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengu­rus kepentingan masyarakat setempat. Ketika mandat dari rakyat koheren dengan otoritas dan akuntabilitas, maka legitimasi dan kepercayaan akan menguat. Desa mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada warga masyarakat.

Kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal dalam UU Desa merupakan instrumen penting untuk melembaga­kan masyarakat/tradisi berdesa. Melalui kewenangan itu desa mempunyai otoritas dan akuntabilitas mengatur dan mengurus barang-barang publik untuk pelayanan kepada kepentingan masyarakat setempat. APBDesa digunakan un­tuk membiayai kewenangan yang direncanakan. Sebaliknya masyarakat juga membiasakan diri untuk memanfaatkan desa sebagai representasi negara yang mengatur dan men­gurus mereka, bukan hanya sebatas terlibat dalam pemili­han kepala desa, bukan juga hanya mengurus administrasi, tetapi yang lebih penting adalah memanfaatkan desa se­bagai institusi yang melayani kepentingan mereka.

Desa bukan sekadar rezim/sistem pemerintahan. Desa juga sebagai bangunan sosiologis, atau bisa juga disebut se­bagai basis sosial bagi masyarakat. Romo Driyarkara, misal­nya, mengatakan bahwa desa adalah kesatuan organik yang bulat. Clifford Geertz (1980), dalam studinya di Bali, juga menegaskan: “Desa itu suatu unit organik yang mandiri, berbasis kosmologis, menutup diri dan tumbuh dari lahan budaya asli Bali”. Masyarakat adalah basis desa, kemas­yarakatan merupakan pilar desa.
Desa memiliki masyarakat, masyarakat memiliki desa. Desa memiliki masyarakat berarti desa ditopang oleh insti­tusi lokal atau modal sosial. Dalam UU Desa hal ini tercermin pada asas kekeluargaan, kebersamaan dan kegotongroyon­gan. Sementara masyarakat memiliki desa bisa disebut juga sebagai tradisi berdesa, atau menggunakan desa sebagai arena bernegara atau berpemerintahan oleh masyarakat.
Dua sisi itu penting karena akan menjadi fondasi yang kokoh bagi desa yang kuat, maju, demokratis dan mandiri. Pada level yang lebih mikro, bermasyarakat dan berdesa itu menjadi energi utama bagi desa membangun, dan sekaligus menjadi faktor penting bagi keberhasilan dan kegagalan se­tiap jenis program pembangunan yang bekerja di desa. Se­bagai contoh konkret, Desa Ekasari di Jembrana, Bali. Desa ini inklusif (tiga komunitas Hindu, Islam dan Katotik hidup rukun dan terjadi kolektivitas) dan memiliki bangunan so­sial yang kokoh, sehingga program apapun yang masuk ke desa ini selalu berhasil. Sebaliknya banyak BUMDesa yang gagal, atau proyek-proyek sektoral yang diserahkan kepada masyarakat setempat akhirnya tidak berlanjut dengan baik. Penyebabnya adalah fondasi sosial yang rapuh dan miskin­nya tradisi berdesa.

Desa Bermasyarakat

Masyarakat apapun dan dimanapun selalu mendam­bakan modal sosial (kebersamaan, kerjasama, solidaritas, kepercayaan) yang kaya melimpah. Bahkan negeri Ameri­ka pun, yang selalu dikatakan sangat individualis dan lib­eral, juga mendambakan modal sosial. Dari buku kondang Alexis de Tocquville, Demoracy in America, kita bisa be­lajar bahwa kokohnya demokrasi Amerika bukan karena sistem politik (federalisme, dua partai dan sistem distrik) tetapi karena modal sosial yang sudah terbangun lama. Selain patung Liberty yang gagah perkasa, buku karya be­sar de Tocquville merupakan hadiah orang Prancis kepada Amerika yang memberikan teladan dan inspirasi demokrasi bagi Prancis. Buku yang melegenda itu bahkan menjadi ba­caan wajib bagi pendidikan politik di Amerika. Tetapi 150 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1995, Robert Putnam (seorang ilmuwan politik Amerika yang dijuluki sebagai pe­waris Tocquville) meneliti dan menerbitkan sebuah tulisan tentang Bowling Alone, sebuah metafora yang menunjuk­kan krisis modal sosial dalam masyarakat Amerika. Tulisan Putnam itu disambut dengan serius yang penuh kerisauan oleh pemerintah dan masyarakat Amerika, yang kemudian mendorong pemerintah maupun berbagai yayasan pilantro­fi mendanai banyak universitas untuk melakukan penelitian dan revitalisasi modal sosial.

Kalau Amerika sekalipun memperhatikan modal sosial secara serius, apalagi desa-desa di Indonesia yang lahir dan hidup karena modal sosial. Perhatian pada modal sosial dalam bab ini karena alasan teoretik dan empirik. Secara teoretik studi Putnam (1993) maupun Fukuyama (1995) menunjukkan bahwa modal sosial merupakan penopang pembangunan ekonomi dan demokrasi. Putnam antara lain mengambil kesimpulan: “Studi tentang pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang cepat hampir selalu menekank­an pentingnya jaringan kerja sosial yang padat, sehingga ekonomi ini menggambarkan semacam kapitalisme ber­jaringan” (Putnam, 1993). Francis Fukuyama (1995) juga menegaskan argumen tentang kehebatan modal sosial (ker­jasama dan kepercayaan) sebagai penopang keberhasilan kapitalisme di Eropa Barat, Amerika Utara dan Asia Timur.

Secara empirik Desa jadi menarik didiskusikan karena dua misteri modal sosial di Indonesia yang sungguh berbeda dengan keyakinan teoritik. Pertama, desa-desa di Indonesia sebe­narnya sangat kaya modal sosial tetapi juga rentan secara sosial. Di satu sisi masyarakat desa sudah lama mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas sosial yang kuat, se­bagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pemba­ngunan dan kemasyarakatan. Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga utama “otonomi asli” desa. Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau sampai level desa, swadaya dan gotong royong merupakan sebuah alternatif permanen yang memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa tercukupi. Di luar swadaya dan gotong-royong, masyarakat desa mempunyai tradisi to­long-menolong, bahu-membahu dan saling membantu an­tarsesama, apalagi ketika terjadi musibah yang mereka lihat secara dekat.

Tetapi di balik ikatan sosial dan solidaritas sosial yang menyenangkan itu, masyarakat desa sering menghada­pi berbagai kerentanan sosial (social vulnerability) yang menyedihkan, bahkan bisa melumpuhkan ketahanan sosial (social security) mereka. Ketahanan sosial masyarakat desa kerapkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari regulasi dan kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam, kekeringan, dan masih banyak lagi. Bahkan bantuan dari pemerintah seperti BLT kompensasi BBM juga memu­nculkan kerawanan sosial dalam masyarakat, misalnya da­lam bentuk pertikaian antara warga dan aparat setempat.
Kedua, desa kaya modal sosial tetapi tidak kaya modal ekonomi. Dengan kalimat lain, modal sosial itu tidak men­galami transformasi menjadi modal ekonomi. Studi Ed­ward Miguel, Paul Gertler, dan David I. Levine (2005) di 274 daerah industri di Indonesia, misalnya, menunjukkan bahwa modal sosial tidak berpengaruh secara signifikan ter­hadap pertumbuhan industri. Karena itu, wajar jika Prof. Robert Lawang, pernah mengajukan pertanyaan: mengapa modal sosial yang kaya tidak menghasilkan modal ekonomi? Bagaimana dan dimana letak missink link antara modal so­sial dan modal ekonomi?
Antara misteri dan optimitisme itu perlu dikaji lebih dalam. Bilamana dan bagaimana modal sosial membentuk desa bertenaga secara sosial, serta menopang pembangu­nan ekonomi dan demokrasi lokal? Dalam literatur terdapat tiga level dan jenis modal sosial: ikatan sosial (social bond­ing), jembatan sosial (social bridging) dan jaringan sosial (social linking). Social bonding adalah bentuk dan level modal sosial dalam komunitas lokal yang paling rendah, di­mana hubungan sosial (kerjasama dan kepercayaan) diba­ngun berdasarkan kesamaan identitas yang homogen atau berdasarkan ikatan parokhial (keagamaan, kekerabatan, kesukuan, dan lain-lain) yang lebih banyak berorientasi ke dalam secara eksklusif. Social bridging merupakan ben­tuk modal sosial dalam komunitas lokal yang lebih terbuka, heterogen, melampaui ikatan parokhial, yang sangat cocok untuk membangun kerukunan dan perdamaian. Sedangkan social linking adalah modal sosial yang malampaui komuni­tas lokal, berorientasi keluar dan berjaringan lebih luas den­ gan dunia luar (Briggs 1998; Woolcock dan Narayan 2000, Putnam, 2000, Portes dan Landolt. 2000, Woolcock 2001).

Selain tiga bentuk modal sosial itu, sebenarnya masih bisa ditambahkan bentuk solidaritas sosial dan gerakan so­sial. Solidaritas sosial dalam bentuk tolong menolong bera­da dalam rentang antara ikatan sosial dan jembatan sosial. Sedangkan gerakan sosial berada di atas level jaringan so­sial. Gerakan sosial dalam bentuk organisasi warga atau or­ganisasi masyarakat sipil mulai dari level desa, daerah dan nasional merupakan institusi sipil yang menaruh perhatian pada isu-isu publik maupun kepentingan warga, sehingga menjadi kekuatan yang mendorong tumbuhnya demokrasi.
Berdasarkan tiga bentuk dan level modal sosial itu, kami berpendapat bahwa social bonding yang bersifat parokhial merupakan modal sosial paling dangkal, yang tidak mam­pu memfasilitasi pembangunan ekonomi, desa bertenaga secara sosial, dan demokrasi lokal. Bahkan social bonding itu mengandung sejumlah sisi gelap: (a) eksklusi terhadap orang lain; (b) klaim atas anggota kelompok; (c) pembatasan terhadap kebebasan individu; dan (d) mengabaikan norma, termasuk norma hukum. (Portes dan Landolt, 2000). Social bonding yang eksklusif dan miskin jembatan sosial itu mu­dah menyebabkan konflik beragam kelompok atau komu­nitas parokhial (agama, suku, kekerabatan, aliran). Konflik lokal yang merebak di berbagai daerah di Indonesia tentu bersumber dari beragam social bonding dengan densitas sosial yang jauh.
Studi Weijland (1999) menemukan bahwa hubungan so­sial (social bonding) di berbagai komunitas desa di Indone­sia biasanya dimaknai sebagai “hubungan patronase dengan hirarkhi sosial-politik, kepemilikan tanah, dan ikatan kelu­arga”. Hubungan sosial semacam ini tentu bukanlah modal sosial yang mengutamakan kepercayaan, jaringan inklusif dan tanggungjawab, melainkan mengandalkan hubungan yang eksklusif, tertutup bahkan merusak hukum. KKN (ko­rupsi, kolusi dan nepotisme) tentu berangkat dari ikatan so­sial semacam ini.
Studi Sarah Turner (2007) di Makassar secara khu­sus membahas bentuk modal sosial di kalangan pengusa­ha kecil. Studi ini menemukan bahwa pengusaha kecil di Makassar sangat bergantung pada jaringan informal, sal­ing keterhubungan (linkages) antara satu dengan yang lain dan membangun kepercayaan untuk mendukung sumber penghidupan mereka. Hubungan saling ketergantungan ini mencerminkan bentuk modal sosial yang melekat (embed­ded) dalam etnis lokal dan ikatan sosial (social bonding) yang bergerak pada dua sisi sekaligus yakni inklusif pada satu kelompok dan pada saat yang sama menjadi eksklusif bagi orang lain.
Secara ringkas studi Turner (2007) menemukan tiga hal penting. Pertama, faktor etnis berpengaruh kuat dalam komunitas lokal di Makassar, yang berperan penting da­lam menopang jaringan dan keterkaitan. Pengusaha kecil memanfaatkan jaringan untuk mendapatkan kredit secara informal dengan bunga yang rendah atau sama sekali tan­ pa bunga, saling “meminjam” tenaga kerja terutama disaat mendapatkan pesanan dalam jumlah besar serta berbagi in­formasi atau peralatan kerja.
Kedua, daya lekat yang kuat didalam etnis menentukan aktivitas para pengusaha kecil yang menguntungkan dan sekaligus memperkuat stratifikasi sosial-budaya. Aktivitas mencari pekerjaan atau sumber penghidupan bukanlah se­suatu yang netral tetapi mengakibatkan proses inklusi dan eksklusi. Kesamaan etnis dan asal-usul daerah/kampung akan mempererat proses inklusi seseorang ke dalam sebuah komunitas, tetapi pada saat yang sama melakukan peming­giran (eksklusi) orang lain.
Ketiga, meski situasi di Makassar menggambarkan ika­tan modal sosial yang baik, yakni terjadi kerjasama erat dan iklim kepercayaan diantara jaringan keluarga dan teman sehingga bermanfaat menopang kesempatan ekonomi dan lapangan kerja serta terjadi daya lekat yang kuat, tetapi semua ini terjadi karena ada mekanisme bertahan (coping mechanicsm), yakni suatu mekanisme yang dipakai pengu­saha lokal untuk mengatasi berbagai masalah yang dihada­pi. Social bonding bisa menjadi solusi terutama menghada­pi hambatan dalam berhubungan dengan institusi formal (birokrat-bank). Social bonding dan social bridging di Makassar mampu mendukung keseharian pengusaha kecil tetapi social linking belum bisa berfungsi dengan baik.
Secara khusus studi ini menemukan bahwa kerjasama antar etnis, seperti Bugis-Makassar bahkan dengan etnis China, berguna untuk memperoleh kontrak kerja, bah­ an-bahan mentah untuk produksi maupun saluran infor­mal untuk memperoleh hutang. Dalam konteks ini, sumber modal sosial terletak pada struktur hubungan sosial yang berkembang dari waktu ke waktu dimana biasanya aktor kunci sudah berada di komunitas atau justru sengaja dita­namkan di komunitas tersebut. Modalitas ini sebenarnya bisa membangun social bridging dan social linking yang kuat. Tetapi perilaku kolusi, korupsi maupun biaya siluman (rente) di kalangan birokrasi membuat para pengusaha kecil di Makassar tidak optimal dalam membentuk social linking. Hal ini membuat pengusaha kecil tidak mampu melakukan inovasi maupun ekspansi bisnis karena mening­katnya “biaya operasional”. Ini semakin memperjelas bah­wa problem ekonomi-politik menjadi salah satu rintangan bagi pengusaha kecil untuk berkembang. Masih akan bersambung

Di Cuplik Dari Buku Regulasi Baru, Desa Baru-Ide, Misi, Dan Semangat Uu Desa, Sutoro Eko, maret 2015,Kemndes




No comments:

Post a Comment