Meningkatkan
Kreativitas Penggerak Desa
Oleh
Ivanovich Agusta
Pembangunan desa sedang di
persimpangan jalan. Sepanjang 2015-2017, sumber daya finansial dari pusat dan
daerah memadati anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) hingga Rp 240
triliun. Terbangun lonjakan infrastruktur lokal berikut honor bagi kader pengelola.
Namun, kesempatan kerja, pendapatan warga, dan pengurangan kemiskinan terlalu
sedikit membaik.
Yang menarik, di belantara pendapatan
asli desa yang secuil, rata-rata Rp 3 juta/tahun, mencuat 157 desa unicorn yang
berhasil mengapitalisasi potensi desa menjadi pendapatan asli lebih dari Rp 1
miliar/tahun. Perbedaannya, desa umumnya sekadar membangun dengan cara klise
dan berulang, desa unicorn kreatif membaca potensi dari sudut milenial,
menapaki jejaring bisnis dan birokrasi, lantas mempersembahkan arsitektur
berikut aktivitas warga yang segar.
Ceruk baru ini menuntun arah anyar
pembangunan desa, yaitu meningkatkan kapasitas penggerak desa hingga melambung
ke puncak kreativitasnya.
Sejak 2014 marak pelatihan bagi
perangkat desa dan pengurus lembaga kemasyarakatan. Kemendagri, Kemenkeu, dan
pemerintah daerah melatih lebih dari 200.000 perangkat desa agar menaati
peraturan perundangan. Lembaga pelatihan swasta menambah kursus pembentukan
badan usaha milik desa (BUMDes). Pemerintah desa menganggarkan minimal Rp 30
juta per tahun untuk menghadiri dan membayar berbagai pelatihan.
Sayang, pelatihan itu berhenti pada
pendisiplinan aturan. Padahal, telah muncul kebutuhan meningkatkan jenjang
menjadi kreatif membaca regulasi sehingga mampu mencipta diskresi bagi peluang
ekonomi baru. Pada puncaknya, kini dibutuhkan sertifikat kompetensi guna
meyakinkan mitra kerja sama desa, bahwa pemerintahan desa dikelola dengan baik
dan inovasi senantiasa dikembangkan pengelola lembaga yang kreatif.
Kompetensi pelatihan secara
bertingkat sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) jenjang ke-2,
3, 4, dan 5 diwadahi Akademi Desa 4.0. Ini ikhtiar Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) untuk mendasarkan kreativitas sebagai
basis baru pembangunan desa.
Jenjang pelatihan dimulai dari proses
pendirian dan tata kelola lembaga pemerintah maupun ekonomi lokal, agar
eksistensinya diwadahi hukum di Indonesia serta perangkat aktif menjalankan
kegiatan. Jenjang kedua, mengarah pada kemanfaatan lembaga bagi pengguna, baik
warga setempat, konsumen dari luar desa, swasta yang bekerja sama, hingga
pemerintah supra- desa. Jenjang ketiga, kreatif menggali potensi internal
lembaga sesuai kebutuhan pengguna. Jenjang terakhir diarahkan untuk memperluas jaringan
kepada birokrasi, bisnis, dan penggiat desa. Jaringan bisnis dan kelembagaan
dikembangkan sampai ke luar negeri.
Substansi pelatihan disesuaikan
dengan kebutuhan terkini para pemangku desa, meliputi pelatihan kepala desa,
sekretaris desa, perangkat desa. Pelatihan juga diarahkan pada pengelola
lembaga kemasyarakatan, seperti pengurus BUMDes, pengelola PKK, pengelola
kegiatan pembangunan, hingga lembaga agama. Secara khusus, pelatihan diarahkan
juga pada pendamping desa, pendamping kawasan pedesaan, dan pendamping daerah
tertinggal.
Pembelajaran
kewirausahaan di kelas hanya mencakup maksimal 30 persen jam pelajaran.
Selebihnya berupa kajian studi kasus desa, mendalami contoh berkaitan dengan
kreativitas pemerintah desa dan pengurus lembaga desa serta studi lapangan.
Pelatihan diakhiri otoetnografi untuk merefleksikan potensi dan peluang
lembaganya sendiri, lalu menyusun perencanaan aksi pascapelatihan.
Kemanfaatan alumni bagi desa
dimonitor melalui aplikasi daring dan kunjungan lapangan. Selain mendokumentasikan
manfaat Akademi Desa 4.0, tracing study sekaligus mencatat kreativitas baru
bagi perbaikan pembelajaran berikutnya.
Ekosistem pengetahuan
Untuk menjaga kesuburan kreativitas
desa, dikembangkan ekosistem pengetahuan spesifik desa. Basis data
dikumulasikan pada Pusat Data Desa Indonesia. Pengetahuan ensiklopedis di
dalamnya mencakup segala aspek desa di tingkat individu, RT, RW, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, dan perbandingan antarnegara.
Partisipan pelatihan dan alumni berkesempatan mendalami secara khusus wilayah
operasional lembaganya, atau membandingkan dengan inovasi wilayah pedesaan
lainnya.
Ekosistem pengetahuan internal
disusun dari basis data Kemendesa PDTT yang kini mulai lengkap, kompilasi
inovasi desa dari berbagai sumber (https://inovasidesa.kemendesa. go.id), serta
pustaka terbaru besutan Akademi Desa 4.0.
Adapun jaringan pengetahuan eksternal
diperluas bersama berbagai lembaga yang kompeten. BKKBN berbagi basis data 76
juta keluarga Indonesia, dan menyediakan 7.000 tempat kursus di hampir semua
kecamatan. Setidaknya 43 perguruan tinggi di sejumlah provinsi turut
menyediakan lokasi dan pelatih. Lembaga-lembaga kursus desa yang terakreditasi
Kementerian Desa PDTT turut menggaungkan pelatihan di seantero Nusantara.
Konsep ekosistem pengetahuan desa
akhirnya membuka berbagai kerja sama baru yang menguntungkan warga desa.
Contohnya, target sertifikasi kompetensi 750.000 tenaga kerja konstruksi dari
Kementerian PUPR mudah dipenuhi melalui jaringan Akademi Desa 4.0 di semua
kecamatan. UU No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi mengamanatkan tukang
bersertifikat digaji lebih tinggi. Artinya, kompetensi pekerjaan terbesar kedua
di desa ini berpeluang mengangkat pendapatan warga.
Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan
Kemendesa PDTT ; sumber : Kompas.id Akademi Desa 4.0 tanggal 18 Juni 2018