Wajah Perbatasan Apa adanya
-Sebelum Ada Jalan Paralel Perbatasan. Perbatasan apa adanya artinya sebelum
pemerintahan Jokowi membuka isolasi perbatasan, belum ada jl parallel perbatasan. PLBN belum dibangun
kembali. Ya apa adanya dan bagaimana kondisi perbatasan yang masih terisolasi.
Wilayah perbatasan memiliki nilai strategis sebagai kedaulatan, sebagai pangkal
pertahanan, sebagai halaman depan kebanggaan juga sebagai titik dasar dalam
penetapan garis batas wilayah territorial,
Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Dll. Sebagai halaman depan
bangsa ia sekaligus jadi pusat interaksi perekonomian, sosial budaya dengan
negara tetangga di tengah masyarakat Asean dan Dunia. Karena itu tidak diragukan lagi Garis
Perbatasan mempunyai arti penting dalam pembangunan kedaulatan negara.
Arah kebijakan pengelolaan
wilayah perbatasan telah berubah dari inward looking menjadi outward looking.
Belum tuntasnya penetapan dan penegasan garis batas berpotensi menjadi sumber
permasalahan hubungan antar negara dimasa datang. Terlebih lagi permasalahan
garis batas adalah masalah sensitip yang sulit dikompromikan. Boleh dikatakan hampir semua negara Asean
mempunyai permasalahan batas dengan negara tetangganya. Termasuk di dalamnya
persolan batas di Laut China Selatan.
Buku ini menjelaskan seperti apa
wajah asli wilayah perbatasan Indonesia, apa saja permasalahannya dan kearah
mana pola pengembangannya. Terlebih lagi setelah pemerintahan Jokowi-JK
melakukan pembangunan perbatasan dengan semangat NawaCita.Semangat membangun
dari perbatasan, dengan mengkombinasikan pembuatan infrastruktur jalan raya
paralel perbatasan, tol laut dan bahkan tol udara. Suatu lompatan yang belum
terbayangkan sebelumnya, suatu lompatan yang membuat produk Indonesia bisa
unggul di perbatasan.
Kita tahu wilayah perbatasan adalah halaman depan bangsa, wilayah yang mencerminkan kualitas kedaulatan dan kesungguhan suatu Negara dalam membangun wilayahnya. Secara konsep dan UU wilayah itu juga sudah didesain untuk mengatur pembangunan wilayah dan wilayah perbatasannya, seperti UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda; UU No.26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang dan UU tentang Batas Negara itu sendiri. Tetapi selama ini dalam prakteknya anggaran dan dana itu banyak terserap oleh para pelaksana pembangunan itu sendiri. Kalau di jaman Orba anggaran untuk pembangunan itu mengalami kebocoran hingga 30 persen, maka pada Orde Reformasi malah jadi terbalik. Dana untuk pembangunan itu hanya sebesar 30 persen, yang 70 persennya justeru jadi bancaan bagi para pengelolanya. Mungkin terlalu berlebihan, tetapi itulah yang sesuai dengan penglihatan saya yang terjadi. Kerja sama antara para penguasa dan pengusaha berjalan sinergis demi keuntungan mereka sendiri.
Wilayah
perbatasan terlantar dan diterlantarkan.
Namun
demikian dalam tataran pengaturan kedua Negara bertetangga secara sadar
sama-sama mengetahui, dan memahami bahwa wilayah perbatasan perlu ditata,
dengan tetap memberikan ruang gerak dan keleluasan yang wajar bagi kehidupan
masyarakat di wilayah perbatasan. Semua itu secara utuh tercermin dalam
semangat kerjasama antara Negara tetangga seperti GBC (General Border
Committee, Indonesia-Malaysia), JBC(Joint Border Committee, Indonesia-Papua
Nugini, dan Indonesia-Timor Leste), yang secara konkrit selalu memperhatikan
kehidupan dan kerukunan berbagai etnis yang sama-sama ada di wilayah
perbatasan.
Semangat
itu pula secara terukur juga dibingkai pula di tataran regional maupun Kawasan,
baik dalam Piagam Asean, maupun Asean+3 atau Asean+ 6. Permasalahannya adalah
kondisi ekonomi dari masing-masing Negara yang bertetangga. Untuk Indonesia dan
Malaysia kondisinya sangat kontras, suatu realitas yang mencerminkan warga yang
pendapatan perkapitanya antara (US$ 3400/tahun, Indonesia) dengan yang (US$
14.700/tahun, Malaysia[1]).
Cobalah ke perbatasan lihat perkampungan Malaysia yang asri, rapi dan produktif
penuh dengan tanaman bernilai ekonomi, sementara di perkampungan Indonesia
sebaliknya kusam, hutan belukar dan penuh ilalang. Saya tidak habis piker,
kenapa ya bisa terjadi seperti itu?
Dalam
bingkai kerjasama regional, dan antar Negara dan khususnya antara Indonesia
dengan Malaysia di Kalimantan, hubungan itu sungguh baik, tetapi dalam realitas
di lapangan tentu sangat berbeda, khususnya dalam menjalin persahabatan dan
kerjasama informal. Untuk semua urusan formal dan pemerintahan persoalan
koordinasi tidak ada hambatan, tetapi dalam realitas social maka kondisi
ekonomi yang pincang secara alamiah telah memposisikan mereka dalam bingkai
hubungan antara TKI dan majikannya. Kalau kita berkaca akan kerangka seperti
ini, maka penggeseran tugu batas serta kegiatan illegal logging dan sejenisnya,
adalah sesuatu yang alami. Benar, kerugiannya luar biasa tetapi kalau tidak
mampu menjaganya, apa mau dikata. Keberadaan pos-pos pengamanan kita
diperbatasan tentu secara formal punya efek deteren tetapi bukan bagi pelaku
bisnis illegal dan sejenisnya. Mereka tahu persis di sisi mana kelemahan yang
ada. Dari sisi manajemen pengelolaan wilayah perbatasan boleh dikatakan nyaris
tidak ada kendala, kecuali kondisi kemiskinan itu sendiri.
Salah
satu yang menyebabkan masyarakat perbatasan lemah dalam sisi ekonominya, adalah
karena memang dari sananya sudah serba tertinggal. Mereka miskin, karena mereka
masih sangat tergantung dengan alam itu sendiri. Mereka belum mempunyai lahan
pertanian atau perkebunan yang bisa menghidupi mereka. Mereka masih tergantung
pada cara-cara tradisional sebagai “peramu”, yang sepenuhnya tergantung dengan
kemurahan alam. Bisa sebagai pencari kayu gaharu, kulit manis, madu hutan,
binantang buruan, burung dll. Mereka tidak mampu untuk bisa memiliki lahan
pertanian atau perkebunan; karena kalaupun bisa tokh hasilnya mau di jual
kemana? Semua masih terisolasi, atau kalaupun ada jalan kondisinya sangat payah
dengan biaya ongkos tinggi. Dalam kondisi seperti itulah mereka tumbuh. Di lain
pihak, pemerintah seolah kesusahan mencari cara cara yang tepat untuk
memberdayakan masyarakat di pedesaan perbatasan ini. Pemerintah mempunyai
program Transmigrasi yang pada intinya, memindahkan warga miskin dan tidak berpendidikan
di Kota-Kota di Jawa ke desa-desa terpencil dan tertinggal di luar Jawa. Secara
logika biasa, program ini jelas sangat tidak logis.
Kenapa
pemerintah tidak terlebih dahulu memulainya dari desa-desa tertinggal dan
diperbatasan yang ada di luar pulau jawa itu terlebih dahulu? Caranya persis
dengan pola transmigrasi itu. Tetapi khusus untuk warga lokal. Warga miskin di
desa tertinggal dan desa perbatasan itu diberi lahan pertanian, bisa kebun bisa
sawah minimal 2 Ha per KK, di lahan itu dibuatkan rumah untuk mereka, lahannya
di olah hingga siap tanam, diberikan bibit, diberikan pupuk, diberikan obat
hama, diberikan alat-alat pertanian atau perkebunan dengan model untuk
indipidu, kelompok dll. Sarana jalan di buka, sarana pusar dibuatkan. Hal
seperti inilah yang perlu dikembangkan di desa-desa perbatasan, desa-desa
wilayah perbatasan meliputi 5 Kabupaten di Kalimantan Barat ( Sambas,
Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas
Hulu) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; satu (1) kabupaten
di Kalimantan Timur ( Kutai Barat) dan
(2) kabupaten di Kalimantan Utara (Malinau, Nunukan) berbatasan dengan Sabah,
Malaysia sepanjang 1038 km; Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Kota Jayapura,
Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua
Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)
kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara)
berbatasan dengan Timor Leste sepanjang ± 300km.
Dalam
hati saya selalu bertanya, kenapa Pemda Wilayah Perbatasan, BNPP, Kementerian
Desa Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dll tidak membuat program seperti itu.
Mari kita lihat Program pembangunan perbatasannya BNPP. Menurut saya Programnya
itu seperti masih meraba-raba atau minimal seperti program yang dibuat oleh
mereka yang tidak mengenal wilayah perdesaan. Mari lihat program BNPP. Ptogram
yang akan mengembangkan 10 daerah menjadi pusat kegiatan strategis nasional
(PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas
pembangunan. Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus
untuk tahun 2015, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan
pembangunan di 50 kecamatan. Menurut program
itu secara teoritis daerah yang
ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat
mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya. Bagaimana mau
mendorong desa, wong orang desanya nggak punya apa-apa.
Bagi
kita warga perbatasan tentu sulit membayangkan hal hal seperti itu. Karena
warganya saja belum punya apa-apa? Apanya yang mau di dorong? Begitu juga
dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Kementerian ini meluncurkan tiga program Unggulan untuk meminimalisasi angka
urbanisasi yang diperkirakan naik di kisaran 65 persen pada 2015. “Program
unggulan tersebut akan selalu dijadikan acuan utama dalam merumuskan
kegiatan-kegiatan prioritas setiap tahun. Program unggulan itulah yang akan
menghasilkan dampak terukur bagi peningkatan kemajuan dan kesejahteraan, dan
kemandirian masyarakat desa,” ujar Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi, Marwan
Jafar usai meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) pertengahan Oktober 2015.
Bersamaan dengan peluncuran IDM itulah, pihaknya juga menggencarkan program
yang dijadikan andalan untuk mengatasi kemiskinan, yaitu Jaring Komunitas
Wiradesa (JKWD), Lumbung Ekonomi Desa (LED), dan Lingkar Budaya Desa (LBD).
“Urbanisasi harus ditekan angkanya agar desa bisa berkembang dan berdaya saing
secara ekonomi,”ujar Menteri Desa.
Kita
ingin menyampaikan kepada Pemda, BNPP dan PDT&Transmigrasi nggak usah
muluk-muluk, cukup warga desa yang ada di perbatasan atau desa tertinggal itu
di data dan diberikan kemampuan untuk mereka bisa mempunyai lahan pertanian,
atau perkebunan masing-masing minimal 2 ha, punya rumah; lahannya dipersiapkan
sehingga tinggal tanam; diberi bibit; pupuk; obat hama, petugas lapangan
sebagai pendamping dan biaya hidup selama setahun atau dua tahun sampai hasil
tanam mereka berhasil. Kalau mereka sudah ada penghasilan, maka pasar akan
terbentuk, kampung akan berkembang,
transportasi dan perekonomian akan berkembang. Harapan kita jangan lagi
membuat program-program yang hanya indah diatas kertas, tetapi tidak bisa
diwujudkan di lapangan. Sebab kita masih ingat pada masa lalu ada 25 K/L yang
mengurusi wilayah perbatasan itu dengan program yang hanya bisa dibaca tetapi
tidak dapat diwujudkan. Sekarang kita berharap jangan program yang seperti itu
lagi.
[1]
Dari data yang saya temukan memang tidak ada angka yang pasti tentang
Pendapatan per-kapita Indonesia. Misalnya pada tahun 2013 disebutkan Indonesia
sebesar $ 4,380, sementara Malaysia sebesar $14,603. http://www.academia.edu/12098966/PENDAPATAN_PER-KAPITA_INDONESIA_VERSUS_MALAYSIA
atau seperti menurut IMF, World Bank atau
CIA World Factbook tahun 2010 antara US 10,400 dengan US 14,750;
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_PDB_(KKB)_per_kapita