February 13, 2022

Penulis Dari Perbatasan, Perbatasan Di Masa Lalu

 


Wajah Perbatasan Apa adanya -Sebelum Ada Jalan Paralel Perbatasan. Perbatasan apa adanya artinya sebelum pemerintahan Jokowi membuka isolasi perbatasan, belum ada jl  parallel perbatasan. PLBN belum dibangun kembali. Ya apa adanya dan bagaimana kondisi perbatasan yang masih terisolasi. Wilayah perbatasan memiliki nilai strategis sebagai kedaulatan, sebagai pangkal pertahanan, sebagai halaman depan kebanggaan juga sebagai titik dasar dalam penetapan garis batas wilayah territorial,  Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Dll. Sebagai halaman depan bangsa ia sekaligus jadi pusat interaksi perekonomian, sosial budaya dengan negara tetangga di tengah masyarakat Asean dan Dunia.  Karena itu tidak diragukan lagi Garis Perbatasan mempunyai arti penting dalam pembangunan kedaulatan negara.

Arah kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan telah berubah dari inward looking menjadi outward looking. Belum tuntasnya penetapan dan penegasan garis batas berpotensi menjadi sumber permasalahan hubungan antar negara dimasa datang. Terlebih lagi permasalahan garis batas adalah masalah sensitip yang sulit dikompromikan.  Boleh dikatakan hampir semua negara Asean mempunyai permasalahan batas dengan negara tetangganya. Termasuk di dalamnya persolan batas di Laut China Selatan.

Buku ini menjelaskan seperti apa wajah asli wilayah perbatasan Indonesia, apa saja permasalahannya dan kearah mana pola pengembangannya. Terlebih lagi setelah pemerintahan Jokowi-JK melakukan pembangunan perbatasan dengan semangat NawaCita.Semangat membangun dari perbatasan, dengan mengkombinasikan pembuatan infrastruktur jalan raya paralel perbatasan, tol laut dan bahkan tol udara. Suatu lompatan yang belum terbayangkan sebelumnya, suatu lompatan yang membuat produk Indonesia bisa unggul di perbatasan.


Kita tahu wilayah perbatasan adalah halaman depan bangsa, wilayah yang mencerminkan kualitas kedaulatan dan kesungguhan suatu Negara dalam membangun wilayahnya. Secara konsep dan UU wilayah itu juga sudah didesain untuk mengatur pembangunan wilayah dan wilayah perbatasannya, seperti UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda; UU No.26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang dan UU tentang Batas Negara itu sendiri. Tetapi selama ini dalam prakteknya anggaran dan dana itu banyak terserap oleh para pelaksana pembangunan itu sendiri. Kalau di jaman Orba anggaran untuk pembangunan itu mengalami kebocoran hingga 30 persen, maka pada Orde Reformasi malah jadi terbalik. Dana untuk pembangunan itu hanya sebesar 30 persen, yang 70 persennya justeru jadi bancaan bagi para pengelolanya. Mungkin terlalu berlebihan, tetapi itulah yang sesuai dengan penglihatan saya yang terjadi. Kerja sama antara para penguasa dan pengusaha berjalan sinergis demi keuntungan mereka sendiri.

Wilayah perbatasan terlantar dan diterlantarkan.

Namun demikian dalam tataran pengaturan kedua Negara bertetangga secara sadar sama-sama mengetahui, dan memahami bahwa wilayah perbatasan perlu ditata, dengan tetap memberikan ruang gerak dan keleluasan yang wajar bagi kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. Semua itu secara utuh tercermin dalam semangat kerjasama antara Negara tetangga seperti GBC (General Border Committee, Indonesia-Malaysia), JBC(Joint Border Committee, Indonesia-Papua Nugini, dan Indonesia-Timor Leste), yang secara konkrit selalu memperhatikan kehidupan dan kerukunan berbagai etnis yang sama-sama ada di wilayah perbatasan.

Semangat itu pula secara terukur juga dibingkai pula di tataran regional maupun Kawasan, baik dalam Piagam Asean, maupun Asean+3 atau Asean+ 6. Permasalahannya adalah kondisi ekonomi dari masing-masing Negara yang bertetangga. Untuk Indonesia dan Malaysia kondisinya sangat kontras, suatu realitas yang mencerminkan warga yang pendapatan perkapitanya antara (US$ 3400/tahun, Indonesia) dengan yang (US$ 14.700/tahun, Malaysia[1]). Cobalah ke perbatasan lihat perkampungan Malaysia yang asri, rapi dan produktif penuh dengan tanaman bernilai ekonomi, sementara di perkampungan Indonesia sebaliknya kusam, hutan belukar dan penuh ilalang. Saya tidak habis piker, kenapa ya bisa terjadi seperti itu?

Dalam bingkai kerjasama regional, dan antar Negara dan khususnya antara Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan, hubungan itu sungguh baik, tetapi dalam realitas di lapangan tentu sangat berbeda, khususnya dalam menjalin persahabatan dan kerjasama informal. Untuk semua urusan formal dan pemerintahan persoalan koordinasi tidak ada hambatan, tetapi dalam realitas social maka kondisi ekonomi yang pincang secara alamiah telah memposisikan mereka dalam bingkai hubungan antara TKI dan majikannya. Kalau kita berkaca akan kerangka seperti ini, maka penggeseran tugu batas serta kegiatan illegal logging dan sejenisnya, adalah sesuatu yang alami. Benar, kerugiannya luar biasa tetapi kalau tidak mampu menjaganya, apa mau dikata. Keberadaan pos-pos pengamanan kita diperbatasan tentu secara formal punya efek deteren tetapi bukan bagi pelaku bisnis illegal dan sejenisnya. Mereka tahu persis di sisi mana kelemahan yang ada. Dari sisi manajemen pengelolaan wilayah perbatasan boleh dikatakan nyaris tidak ada kendala, kecuali kondisi kemiskinan itu sendiri.

Salah satu yang menyebabkan masyarakat perbatasan lemah dalam sisi ekonominya, adalah karena memang dari sananya sudah serba tertinggal. Mereka miskin, karena mereka masih sangat tergantung dengan alam itu sendiri. Mereka belum mempunyai lahan pertanian atau perkebunan yang bisa menghidupi mereka. Mereka masih tergantung pada cara-cara tradisional sebagai “peramu”, yang sepenuhnya tergantung dengan kemurahan alam. Bisa sebagai pencari kayu gaharu, kulit manis, madu hutan, binantang buruan, burung dll. Mereka tidak mampu untuk bisa memiliki lahan pertanian atau perkebunan; karena kalaupun bisa tokh hasilnya mau di jual kemana? Semua masih terisolasi, atau kalaupun ada jalan kondisinya sangat payah dengan biaya ongkos tinggi. Dalam kondisi seperti itulah mereka tumbuh. Di lain pihak, pemerintah seolah kesusahan mencari cara cara yang tepat untuk memberdayakan masyarakat di pedesaan perbatasan ini. Pemerintah mempunyai program Transmigrasi yang pada intinya, memindahkan warga miskin dan tidak berpendidikan di Kota-Kota di Jawa ke desa-desa terpencil dan tertinggal di luar Jawa. Secara logika biasa, program ini jelas sangat tidak logis.

Kenapa pemerintah tidak terlebih dahulu memulainya dari desa-desa tertinggal dan diperbatasan yang ada di luar pulau jawa itu terlebih dahulu? Caranya persis dengan pola transmigrasi itu. Tetapi khusus untuk warga lokal. Warga miskin di desa tertinggal dan desa perbatasan itu diberi lahan pertanian, bisa kebun bisa sawah minimal 2 Ha per KK, di lahan itu dibuatkan rumah untuk mereka, lahannya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit, diberikan pupuk, diberikan obat hama, diberikan alat-alat pertanian atau perkebunan dengan model untuk indipidu, kelompok dll. Sarana jalan di buka, sarana pusar dibuatkan. Hal seperti inilah yang perlu dikembangkan di desa-desa perbatasan, desa-desa wilayah perbatasan meliputi 5 Kabupaten di Kalimantan Barat ( Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang,  dan Kapuas Hulu) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; satu (1) kabupaten di  Kalimantan Timur ( Kutai Barat) dan (2) kabupaten di Kalimantan Utara (Malinau, Nunukan) berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km; Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Kota Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)  kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang ± 300km.

Dalam hati saya selalu bertanya, kenapa Pemda Wilayah Perbatasan, BNPP, Kementerian Desa Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dll tidak membuat program seperti itu. Mari kita lihat Program pembangunan perbatasannya BNPP. Menurut saya Programnya itu seperti masih meraba-raba atau minimal seperti program yang dibuat oleh mereka yang tidak mengenal wilayah perdesaan. Mari lihat program BNPP. Ptogram yang akan mengembangkan 10 daerah menjadi pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas pembangunan. Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus untuk tahun 2015, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan pembangunan di 50 kecamatan.  Menurut program itu secara teoritis  daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya. Bagaimana mau mendorong desa, wong orang desanya nggak punya apa-apa.

Bagi kita warga perbatasan tentu sulit membayangkan hal hal seperti itu. Karena warganya saja belum punya apa-apa? Apanya yang mau di dorong? Begitu juga dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kementerian ini meluncurkan tiga program Unggulan untuk meminimalisasi angka urbanisasi yang diperkirakan naik di kisaran 65 persen pada 2015. “Program unggulan tersebut akan selalu dijadikan acuan utama dalam merumuskan kegiatan-kegiatan prioritas setiap tahun. Program unggulan itulah yang akan menghasilkan dampak terukur bagi peningkatan kemajuan dan kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat desa,” ujar Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi, Marwan Jafar usai meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) pertengahan Oktober 2015. Bersamaan dengan peluncuran IDM itulah, pihaknya juga menggencarkan program yang dijadikan andalan untuk mengatasi kemiskinan, yaitu Jaring Komunitas Wiradesa (JKWD), Lumbung Ekonomi Desa (LED), dan Lingkar Budaya Desa (LBD). “Urbanisasi harus ditekan angkanya agar desa bisa berkembang dan berdaya saing secara ekonomi,”ujar Menteri Desa.



Kita ingin menyampaikan kepada Pemda, BNPP dan PDT&Transmigrasi nggak usah muluk-muluk, cukup warga desa yang ada di perbatasan atau desa tertinggal itu di data dan diberikan kemampuan untuk mereka bisa mempunyai lahan pertanian, atau perkebunan masing-masing minimal 2 ha, punya rumah; lahannya dipersiapkan sehingga tinggal tanam; diberi bibit; pupuk; obat hama, petugas lapangan sebagai pendamping dan biaya hidup selama setahun atau dua tahun sampai hasil tanam mereka berhasil. Kalau mereka sudah ada penghasilan, maka pasar akan terbentuk, kampung akan berkembang,  transportasi dan perekonomian akan berkembang. Harapan kita jangan lagi membuat program-program yang hanya indah diatas kertas, tetapi tidak bisa diwujudkan di lapangan. Sebab kita masih ingat pada masa lalu ada 25 K/L yang mengurusi wilayah perbatasan itu dengan program yang hanya bisa dibaca tetapi tidak dapat diwujudkan. Sekarang kita berharap jangan program yang seperti itu lagi.



[1] Dari data yang saya temukan memang tidak ada angka yang pasti tentang Pendapatan per-kapita Indonesia. Misalnya pada tahun 2013 disebutkan Indonesia sebesar $ 4,380, sementara Malaysia sebesar $14,603. http://www.academia.edu/12098966/PENDAPATAN_PER-KAPITA_INDONESIA_VERSUS_MALAYSIA atau seperti menurut IMF, World Bank atau  CIA World Factbook tahun 2010 antara US 10,400 dengan US 14,750; https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_PDB_(KKB)_per_kapita

No comments:

Post a Comment