Diskrepansi
Pembangunan Desa
Oleh : Udin Suchaini
Pemerintah membangun sebuah bendungan berkapasitas 3,8 juta
meter kubik di Kabupaten Badung, Bali, untuk menambah pasokan air baku bagi
Kota Denpasar dan sejumlah kabupaten lainnya, antara lain, Badung, Gianyar, dan
Tabanan, atau Sarbagita, serta Bangli. Maket Bendungan Sidan dipajang
serangkaian seremoni peresmian proyek Bendungan Sidan di Desa Belok Sidan,
Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Kamis (4/4/2019).
Persoalannya, paradoks pembangunan desa tak terhindarkan.
Alih-alih memanfaatkan sumber daya lokal sebagai modal untuk menghasilkan
pendapatan asli desa, pembangunan yang kasatmata dan padat modal masih menjadi
andalan meski telah lima tahun dana desa digelontorkan.
Hingga 2019, pembangunan infrastruktur memang dijadikan kunci
akselerasi pertumbuhan ekonomi. Namun, tanpa diimbangi upaya menjaga
keberlangsungan lingkungan hidup dan sosial, efek limpahan yang tidak sesuai
tujuan (diskrepansi) mulai bermunculan.
Kutub pertumbuhan
Masalah pertumbuhan ekonomi, F Perroux (1950) telah menyatakan pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan tidak serentak. Pada kasus pembangunan desa, pertumbuhan menyesuaikan dengan kemampuan pemerintah desa mengelola sumber daya lokal. Tidak meratanya kemampuan pengelolaan ini menimbulkan kutub pertumbuhan yang memicu ketimpangan. Meminjam istilah Marshal (1920), proses aglomerasi sedang terjadi. Dampaknya, diskrepansi pembangunan desa tak terhindarkan. Pertama, peningkatan jumlah warga yang hadir di desa yang tengah tumbuh diiringi arus sampah yang memicu persoalan lingkungan.
Publikasi Potensi Desa (Podes) memberikan gambaran meningkatnya
jumlah desa yang sebagian besar keluarganya membuang sampah di sungai dari
8.033 desa tahun 2014 menjadi 9.673 desa tahun 2018. Sementara keberadaan
tempat penampungan sampah sementara masih sangat terbatas di 16.005 desa tahun
2018. Diiringi pula meningkatnya indikasi pencemaran lingkungan hidup. Desa
yang tak mengalami pencemaran berkurang, dari 63.841 desa tahun 2014 menjadi
61.891 desa pada 2018.
Kedua, perubahan pola hidup dan kesejahteraan di desa yang
diiringi peningkatan masalah sosial. Publikasi potensi desa menunjukkan
peningkatan lokasi peredaran narkoba dari 5.931 desa/kelurahan tahun 2014
menjadi 12.579 desa/kelurahan tahun 2018, yang terjadi dalam kurun waktu satu
tahun terakhir menjelang pendataan. Persoalan sosial yang tak kalah pelik,
peningkatan lokasi tindak pidana pencurian meningkat dari 33.739 desa pada 2014
menjadi 37.778 desa pada 2018.
Diskrepansi pembangunan desa dapat mengganjal pertumbuhan
ekonomi jika dampak negatifnya tak diantisipasi. Pedoman pembangunan desa yang
memperhatikan lingkungan sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Menteri Desa
dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) No 16 Tahun 2018 tentang Penggunaan
Dana Desa 2019. Namun, diperlukan kemampuan perangkat desa dalam menjaga
keseimbangan pembangunan. Ini yang perlu dirumuskan.
Meski demikian, telah ada desa yang mulai memperhatikan
pengelolaan lingkungan. Hasil Podes 2018 memberikan gambaran, di 10.292 desa
terdapat pengolahan/daur ulang sampah/limbah dan di 19.005 desa terdapat upaya
pelestarian lingkungan.
Sementara itu, ada 44.451 desa yang mengaktifkan sistem keamanan
lingkungan dari inisiatif warga. Upaya ini patut diapresiasi, di tengah efek
limpahan proses pertumbuhan yang terjadi, karena limpahan negatif aglomerasi
ini bisa bersifat sementara jika pertumbuhan ekonomi memperhatikan ketahanan
lingkungan.
Sumber daya
Tarikan sumber daya juga terjadi di desa yang tengah tumbuh. Mempertahankan sumber daya manusia (SDM) untuk mengembangkan diri di desa bukan perkara mudah. Meski pendidikan vokasi mulai mengarah pembentukan wirausaha, searah dengan kondisi desa yang semakin menarik dijadikan tempat usaha. Indikasi ini dapat dilihat dari hasil Podes, peningkatan jumlah desa menjadi lokasi industri kecil dan mikro selain makanan/minuman, dari 41.076 desa tahun 2014 menjadi 42.227 desa tahun 2018.
Selain itu, pemanfaatan sumber daya lokal diperlukan untuk menghidupkan
ekonomi desa. Eksplorasi keindahan alam desa telah dimanfaatkan menjadi lokasi
wisata di 1.734 desa. Geliat produk unggulan pun mengemuka di 27.657 desa, di
antaranya berpotensi ekspor di 2.929 desa.
Dukungannya, bagaimana SDM yang ada di desa mampu mengelola
sumber daya lokal penyokong kutub pertumbuhan. Membuka peluang menghasilkan
pendapatan asli desa supaya melebihi dana desa dan alokasi dana desa.
Melalui badan usaha milik desa, pemerintah desa sebagai subyek
pembangunan telah mengeksplorasi hasil bumi dan lingkungan. Persoalannya,
bagaimana upaya desa dalam mendapatkan keuntungan secara ekonomi sekaligus
menjaga sumber daya alam sesuai arah pembangunan berkelanjutan (SDGs)
2016-2030. Sayangnya, pemerintah desa belum secara spesifik tertera menjadi
bagian yang mengupayakan tujuan pembangunan berkelanjutan sesuai Perpres No 59
Tahun 2017.
Penguat pembangunan pada komunitas paling dasar ini telah
diamanatkan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di tengah persoalan lingkungan dan
sosial yang mengemuka, jangan sampai diskrepansi ini berdampak semakin panjang.
Produktivitas dan keberlangsungan pertumbuhan desa akan sangat ditentukan oleh
SDM dan kualitas lingkungan. Kemampuan SDM yang ada di desa mampu meningkatkan
daya saing kualitas produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan.
Lima tahun ini, pembangunan infrastruktur desa dilaksanakan demi
kelancaran distribusi barang dan jasa dari dan ke desa. Tahap berikutnya yang
mungkin dilakukan adalah meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan sumber
daya lokal sekaligus menjaga keberlangsungan lingkungan hidup dan sosial.
Upaya serius guna mempertahankan pertumbuhan pembangunan desa
dalam jangka panjang. Merujuk pada program yang terukur antara optimalisasi
infrastruktur, peningkatan perekonomian, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Desa telah menggeliat tumbuh dengan menerima segala limpahan
modal dan diskrepansinya. Jangan sampai dampak negatif pertumbuhan menurunkan
kualitas kehidupan di desa. Supaya desa semakin menarik menjadi lahan investasi
dan berwirausaha dalam jangka panjang, penting untuk meminimalkan dampak
negatif yang menggerus potensi desa.
Sumber : Kompas.id.,
22 April 2019
Udin Suchaini Fungsional Statistisi di Direktorat
Statistik Ketahanan Sosial BPS